Upacara HUT Korpri

Hari ulang tahun Korpri merupakan momentum untuk meningkatkan profesionalisme guru dan karyawan yang ada di lingkungan SMA Negeri 6 Semarang, semangat untuk berkarya selalu menjadi yang terdepan dalam membangun kebersamaan di SMA Negeri 6 Semarang

SMA Negeri 6 Peduli Sesama Terdampak Covid-19

Civitas akademika SMA Negeri 6 Semarang memberikan bantuan kepada keluarga miskin yang terdampak Covid-19 di Kota Semarang dan sekitarnya. Bantuan ini diharapkan meringankan beban dari keluarga yang terdampak langsung akibat mewabahnya virus Covid-19

Tasyakuran HUT Korpri

Rasa syukur civitas akademika SMA Negeri 6 Semarang dalam memperingati HUT Korpri diwujudkan dalam bentuk tumpengan, semoga kedepannya SMA Negeri 6 Semarang akan selalu mendapat ridho Allah SWT dalam setiap langkah gerak memajukan dunia pendidikan di Kota Semarang

Pelepasan Peserta Didik Kelas XII Tahun Pelajaran 2018/2019

Pelepasan peserta didik kelas XII SMA Negeri 6 Semarang Tahun Pelajaran 2018/2019, Tanggal 17 Mei 2019 bertempat di gedung UTC Unnes Semarang

Jumat, 18 Desember 2015

SMA Negeri 6 Semarang Juara 1 Taekwondo Tingkat Nasional 2015

Suara Merdeka, 18 Desember 2015 - SMA Negeri 6 Semarang Juara I Taekwondo Tingkat Nasional (Rhaverino Hirlathatsi - XII IPS 2). Semoga memberikan inspirasi bagi siswa dan siswi SMA Negeri 6 Semarang yang lainnya untuk semakin berprestasi baik tingkat nasional maupun internasional.

Rabu, 25 November 2015

HARI GURU TAHUN 2015

Peringatan Hari Guru Nasional, Tanggal 25 November 2015 di SMA Negeri 6 Semarang. Tema sentral hari guru "Guru Mulia Karena Karya", semoga menginspirasi guru SMA Negeri 6 Semarang untuk semakin berkiprah dalam menghasilkan karya yang berguna bagi sekolah, masyarakat, dan negara. Selamat berkarya.

LDK OSIS TAHUN 2015

Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) OSIS SMA Negeri 6 Semarang, Sekatul 22-24 November 2015. Semoga menghasilkan generasi emas SMA Negeri 6 Semarang yang berkarakter dan bermartabat.

Rabu, 18 November 2015

SMA Negeri 6 Semarang, Juara III Nasional Handball 2015

Suara Merdeka, Tanggal 18/11/2015, Kepala SMA Negeri 6 Semarang Dra. Hj. Srinatun, M.Pd bersama dengan Juara III Nasional Junior Handball 2015 dan Top Scorer Handball 2015. Penghargaan setinggi-tingginya diberikan kepada Shantika Ayuning dan Irene Zahara Widyaswari yang membawa harum nama SMA Negeri 6 Semarang dalam prestasi skala nasional.

Sabtu, 23 Mei 2015

WISUDA DAN PELEPASAN SISWA KELAS XII THN PELAJARAN 2014/2015

Pada hari Sabtu, 23 Mei 2015 dilaksanakan wisuda dan pelepasan siswa kelas XII SMA Negeri 6 Semarang. Acara alhamdulillah berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan. Kepala Sekolah SMA Negeri 6 Semarang, Ibu Dra. Hj. Srinatun, M.Pd berharap agar siswa dan siswi SMA Negeri 6 Semarang dapat lebih berkarya untuk menggapai cita-cita sebagaimana yang mereka harapkan. Acara di akhiri dengan pembacaan ikrar alumni dengan harapan semoga semua alumni SMA Negeri 6 Semarang dapat terpatri jiwanya untuk senantiasan mendarma-baktikan kemampuannya kepada bangsa, agama, dan lingkungan masyarakat yang ada disekitarnya, serta yang terpenting selalu ingat dan berkiprah positif terhadap almamater tercintanya, yaitu SMA Negeri 6 Semarang.    

Minggu, 10 Mei 2015

SMANSIX DUCATION 2015


SMANSIXDUCATION yang diselenggarakan pada tanggal 9-10 Mei 2015 sebagai ajang kreatifitas siswa SMA Negeri 6 Semarang, ingin menunjukkan eksistensinya mewujudkan generasi muda berkarakter, berprestasi tinggi tanpa narkoba melalui penyelenggaraan Lomba Band, Cerdas Cermat Islami (CCI), PMR, Pramuka, dan diikuti unjuk kebolehan berbagai ekstra kurikuler. Acara tersebut dibuka oleh Walikota Semarang Bapak Hendrar Prihadi, SE, MM.

Kamis, 30 April 2015

SEMINAR PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN NARKOBA

Seminar sehari Pencegahan Penanggulangan dan Pemberantasan Pengedar Narkoba (P4GN) di SMA Negeri 6 Semarang, 30 April 2015 diikuti oleh perwakilan siswa SMA Krista Mitra, Tri Tunggal, dan SMA 7 Semarang. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada siswa tentang bahaya narkoba yang dapat mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara.

Sabtu, 04 April 2015

DOA BERSAMA DAN ISTIGHOTSAH PERSIAPAN UN

Doa bersama dan istighotsah dalam rangka persiapan UN 2014/2015 di Masjid Ash-Shomad SMA Negeri 6 Semarang. Dengan Lantunan Ucapan Takbir, Tahmid, dan Tahlil, Kami Hantarkan Putra Putri Kami Siswa dan Siswi Kelas XII SMA Negeri 6 Semarang Untuk Diberikan Kemudahan Dalam Mengerjakan Soal-Soal UN Thn 2014/2015. Yaa Allah Yaa Rahman Yaa Rahiim, Berilah Mereka Kesehatan dan Keafiatan Sehingga Mereka Dapat Melaksanakan Rangkaian Kegiatan UN dengan Baik, Mendapatkan Nilai Maksimal, dan Memberikan Prestasi Membanggakan bagi SMA Negeri 6 Semarang...Amiin Yaa Rabbal Alamiin...

Sabtu, 07 Maret 2015

OUTBOND KELAS X SMA NEGERI 6 SEMARANG

Outbond Kelas X di Wisata Agro Tlogo Tuntang, dengan dipandu oleh Biro Psikologi Kartika untuk membentuk karakter siswa yang tangguh dalam menghadapi berbagai macam tantangan kedepannya.

Rabu, 25 Februari 2015

PENGELOLAAN SAMPAH SEKOLAH



Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan [manusia] yang berwujud padat [baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai] dan dianggap sudah tidak berguna lagi [sehingga dibuang ke lingkungan]. Alam tidak mengenal sampah, yang ada hanyalah daur materi dan energi. Hanya manusia yang menyampah [mengakibatkan munculnya sampah].
Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan bahan buangan, karena tidak ada proses konversi yang memiliki efisiensi 100%. Sebagian besar bahan buangan yang dihasilkan oleh organisme yang ada di alam ini bersifat organik [memiliki ikatan CHO, bagian tubuh makhluk hidup]. Sampah yang berasal dari aktivitas manusia yang dapat bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan, kertas, kayu dan bambu. Sedangkan sampah anorganik [hasil dari proses pabrik] misalnya: plastik, logam, gelas, dan karet.
Ditinjau dari kepentingan kelestarian lingkungan, sampah yang bersifat organik tidak begitu bermasalah karena dengan mudah dapat dirombak oleh mikrobia menjadi bahan yang mudah menyatu kembali dengan alam. Sebaliknya sampah anorganik sukar terombak dan menjadi bahan pencemar.
Pencemaran lingkungan umumnya berasal dari sampah yang melonggok  pada suatu tempat penampungan atau pembuangan. Perombakan sampah organik dalam suasana anaerob [miskin oksigen] akan menimbulkan bau tak sedap. Makin tinggi kandungan protein dalam sampah, makin tak sedap bau yang ditimbulkan. Dampak lain karena timbunan sampah dalam jumlah besar adalah lingkungan yang kotor dan pemandangan yang kumuh.
Timbunan sampah menjadi sarang bagi vektor dan penyakit. Tikus, lalat, nyamuk akan berkembang biak dengan pesat. Ruang yang ada dicelah-celah sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan hunian yang ideal bagi tikus. Lalat pada umumnya berkembangbiak pada sampah organik, terutama pada sampah yang banyak mengandung protein, seperti sisa makanan.  Suasana yang lembab dan hangat sangat cocok untuk habitat nyamuk. Sampah organik menyediakan sumber makanan yang melimpah bagi mereka.
Karakteristik sampah di Sekolah
            Sekolah sebagai tempat berkumpulnya banyak orang dapat menjadi penghasil sampah terbesar selain pasar, rumah tangga, industri dan perkantoran. Secara umum sampah dapat dipisahkan menjadi :
  1. Sampah organik/mudah busuk  berasal dari: sisa makanan, sisa sayuran dan kulit buah-buahan, sisa ikan dan daging, sampah kebun (rumput, daun dan ranting).
  2. Sampah anorganik/tidak mudah busuk berupa : kertas, kayu, kain, kaca, logam, plastik , karet dan tanah.
            Sampah yang dihasilkan sekolah kebanyakan adalah jenis sampah kering dan hanya sedikit sampah basah. Sampah kering yang dihasilkan kebanyakan berupa kertas, plastik dan sedikit logam. Sedangkan sampah basah berasal dari guguran daun pohon, sisa makanan dan daun pisang pembungkus makanan.
Pengelolaan sampah
  1. Pemilahan yaitu memisahkan menjadi kelompok sampah organik dan non organik dan ditempatkan dalam wadah yang berbeda.
  2. Pengolahan dengan menerapkan konsep 3R yaitu:
    • Reuse (penggunaan kembali) yaitu menggunakan sampah-sampah tertentu yang masih memungkinkan untuk dipakai [penggunaan kembali botol-botol bekas].
    • Reduce (pengurangan) yaitu berusaha mengurangi segala sesuatu yang dapat menimbulkan sampah serta mengurangi sampah-sampah yang sudah ada.
    • Recycle (daur ulang) yaitu menggunakan sampah-sampah tertentu untuk diolah menjadi barang yang lebih berguna [daur ulang sampah organik menjadi kompos].
  3. Untuk sampah yang tidak dapat ditangani dalam lingkup sekolah, dikumpulkan ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang telah disediakan untuk selanjutnya diangkut oleh petugas kebersihan ke Tempat Pembuangan Akhir(TPA).
Sampah yang dibuang ke TPS ditempatkan berdasarkan pemilahan sampah yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan karena sampah organik cepat membusuk sementara sampah non organik membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membusuk sehingga memerlukan perlakuan khusus. Untuk TPS yang sengaja disediakan oleh pihak sekolah sebaiknya TPS tersebut berupa lubang yang dilengkapi dengan sistem penutup sehingga tikus, serangga, dan hewan-hewan tertentu tidak masuk ke dalamnya dan juga untuk menghindari bau dari sampah yang bisa mengganggu.
Untuk memudahkan jangkauan biasanya juga disediakan bak-bak sampah kecil yang ditempatkan di tempat-tempat yang mudah dijangkau sebagai tempat penampungan sampah sementara sebelum dibuang ke TPS. Penampungan sampah dalam bak sampah ini juga sebaiknya dipisahkan menjadi tempat sampah organik dan anorganik dan kalau sudah penuh harus segera dibuang ke TPS atau langsung diambil oleh petugas kebersihan untuk dibuang ke TPA.
Perancangan Pengelolaan Sampah di Sekolah
Di lingkungan sekolah, pengelolaan sampah membutuhkan yang perhatian serius. Dengan komposisi sebagian besar penghuninya adalah anak-anak [warga belajar] tidak menutup kemungkinan pengelolaannya pun belum optimal. Namun juga bisa dipakai sebagai media pembelajaran bagi siswa-siswinya. Salah satu parameter sekolah yang baik adalah berwawasan lingkungan.
Sampah basah bisa diolah menjadi kompos. Prosesnya mudah dan sederhana. Anak usia sekolah SD hingga SLTA bisa mengerjakan sendiri. Pembuatan kompos dengan sampah basah di sekolah bisa menjadi media pembelajaran untuk anak didik. Setidaknya anak akan belajar tentang Ilmu Pengetahuan Alam. Anak juga akan belajar menghargai lingkungan. Mereka akan belajar bagaimana sampah itu bisa bermanfaat bagi manusia bukan hanya sebagai sesuatu yang kotor dan menjijikkan. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk memupuk tanaman yang ada atau sebagi bahan campuran media tanam dalam pot.
Kertas bekas yang dihasilkan banyak sekali yang berjenis HVS. Jenis kertas ini di kalangan pemulung memiliki harga yang paling tinggi. Belum lagi kertas karton, kertas pembungkus makanan dan kertas jenis lainnya. Khusus untuk sampah kertas, bisa dilakukan dua hal untuk pengelolaannya.
  1. Yang pertama adalah daur ulang sebagai pengelolaan sendiri. Sampah kertas bisa didaur ulang dengan cukup mudah. Kertas bekas dipotong kecil-kecil dan direndam ke dalam air. Proses berikutnya adalah diblender hingga berubah menjadi bubur kertas. Dari sinilah kreativitas anak diperlukan. Bubur kertas bisa dijadikan bahan kertas daur ulang atau bisa dijadikan bahan dasar kreativitas lain, misalnya topeng kertas atau bentuk pigora.
  2. Bentuk pengelolaan kedua adalah sistem pemilahan untuk dijual. Kertas berjenis HVS dipisah dari jenis lain misalnya koran, karton dan kerdus. Kertas bekas yang sudah dipilah tadi dijual ke pemulung. Pemulung secara berkala akan datang ke sekolah untuk mengambil kertas tersebut.
Jenis sampah lain yang juga lumayan banyak di sekolah adalah plastik. Sampah ini sebagian besar terdiri dari bungkus plastik dan botol minuman mineral. Untuk jenis terakhir inilah yang sekarang banyak dicari orang. Botol minuman bekas yang berbahan plastik PET bisa didaur ulang menjadi biji plastik. Demikian juga halnya dengan kaleng minuman bekas yang berbahan logam. Sampah jenis ini juga sebaiknya dipilah, dikumpulkan untuk kemudian dijual. Anak-anak juga dapat berkreasi merangkainya menjadi barang kerajinan atau hiasan dinding.
Dengan sistem pemilahan ini diharapkan anak didik dapat belajar betapa sampah yang semula kotor dan menjijikkan ternyata memiliki nilai jual. Mata pelajaran ekonomi dapat dipelajari dari seonggok sampah di sekolah. Anak didik akan menyadari bahwa peluang kerja ada di sekitarnya, bukan hanya dicari tapi dapat juga diciptakan.
Dalam perancangan pengelolaan sampah di sekolah, para siswa perlu dilibatkan secara aktif. Hal ini dapat dilakukan dengan pembentukan regu-regu yang bertugas secara terjadwal. Kegiatan pameran dan kompetisi berkala dapat dilakukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap pengelolaan sampah.  Menulis di blog atau majalah dinding merupakan latihan yang bagus untuk menumbuhkan jiwa-jiwa mengelola sampah. Sehingga muncul kesadaran baru bahwa,  “Sampah bukan masalah, tetapi peluang”.
Oleh : Adam Maulidani – XI MIA 2
Sumber : Nasih Widya Yuwono

Selasa, 24 Februari 2015

KEMAH KEBANGSAAN KELAS XI SMA NEGERI 6 SEMARANG


Kemah kebangsaan siswa kelas XI SMA Negeri 6 Semarang di Yonzipur 4/TK Banyubiru Kab. Semarang pada Tanggal 20-22 Februari 2015 dan dibuka secara langsung oleh Kepala SMA Negeri 6 Semarang Ibu Dra. Hj. Srinatun, M.Pd. Adapun tujuan dari pelaksanaan kemah kebangsan ini adalah sebagai upaya pembentukan karakter, jiwa kemandirian, kejujuran, rasa tanggungjawab dan sopan santun. Kegiatan ini juga menanamkan semangat kebangsaan dan bela negara sebagai fondasi dasar dalam menanamkan sikap nasionalisme dan patriotisme pada generasi penerus bangsa.

Senin, 16 Februari 2015

BENTUK KARAKTER SISWA LEWAT MEDIA SOSIAL

Menarik untuk mencermati perkembangan media sosial yang memiliki dampak luar biasa dalam menentukan hitam putihnya karakter pendidikan anak bangsa. Sebagian kita beranggapan bahwa media sosial pada era digital ini diyakini menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas karakter siswa. Berbagai kejadian negatif yang menimpa dunia pendidikan kita berawal dari pemakaian tak terbatas terhadap penggunaan media sosial. Keunggulan dan kelebihan dari media sosial yang seharusnya digunakan untuk membangun fondasi keilmuan disekolah, seakan sirna manakala kita melihat anak bangsa justru terseret dalam berbagai problematika yang berawal dari penggunaan media sosial yang tidak terkontrol. Pergaulan bebas, pemakaian obat terlarang, bahasa alay, dan budaya acuh seakan menjadi hal biasa dan lumrah dikalangan pelajar kita. Harus diakui bahwa moral suatu bangsa sebenarnya juga ditentukan oleh pergerakan media sosial di dalamnya. Apabila diibaratkan, media sosial itu adalah sebuah sumber mata air yang jernih dan masyarakat diibaratkan sebagai kelompok yang haus akan air, seketika masyarakat itu meminum air yang jernih maka mereka dapat menghilangkan dahaga mereka dengan tenang. Sebaliknya apabila air keruh yang mereka minum maka hidup mereka sudah tidak sehat lagi. Pendidikan karakter dan kepribadian adalah salah satu cara untuk mengubah bangsa ini menjadi sebuah kekuatan dalam upaya membangun negeri ini untuk menjadi lebih bermartabat. Kemajuan teknologi informasi internet seharusnya dimanfaatkan sebagai bentuk sistem pendidikan karakter untuk bangsa ini. Bangsa Indonesia dalam satu dekade ini menjadi bangsa yang sangat aktif dalam media sosial. Menduduki peringkat ketiga sebagai negara pengguna media sosial Facebook maupun Twitter. Sebagai negara yang sering menggunakan media sosial, maka kesempatan untuk memperkuat pendidikan karakter dan kepribadian harus segera dibangun melalui perkembangan teknologi informasi. Lantas, apakah kita langsung memvonis bahwa media sosial harus dilawan dan dilenyapkan untuk menghindari semakin pudarnya nilai karakter siswa. Bukannya justru sebaliknya kita sebagai insan pendidikan untuk masuk kedalam lingkaran media sosial tersebut dalam rangka memperkuat dan menyemai benih-benih pendidikan karakter anak bangsa. Setidaknya ada 6 (enam) peran dan fungsi dari media sosial saat sekarang ini, yaitu sebagai fungsi informasi, fungsi mendidik, fungsi mempengaruhi, fungsi perkembangan mental, fungsi adaptasi lingkungan, dan fungsi memanipulasi lingungan. Melihat fungsi media sosial yang memiliki peran penting ini, maka sudah sepantasnya kita sebagai insan pendidikan harus mengeksplore media sosial sebagai penguat karakter anak bangsa. Usaha ini tentunya bukan tanpa alasan, karena filosofi untuk merubah suatu keadaan, maka kita harus masuk kedalam lingkungan itu. Hal inilah yang menjadikan guru harus mencoba masuk dalam dunia siswa untuk memperbaiki karakter melalui media sosial yang dalam era sekarang ini menjadi sebuah trend di kalangan pelajar kita. Sapaan dan untaian kata positif guru setiap hari di media sosial akan berdampak pada psikologis siswa untuk mengikuti alur pikiran guru yang dituangkan dalam media sosial. Secara tidak langsung, interaksi ini akan menjadikan hubungan guru dan murid menjadi sebuah kekuatan untuk membangun sebuah fondasi karakter yang kuat. Andai semuanya berjalan secara konsisten, maka tidak begitu sulit bagi guru untuk sedikit demi sedikit masuk dalam kehidupan psikologis siswa untuk menyemai benih-benih kebaikan. Begitupun sebaliknya guru dapat memantau dan mengontrol karakter siswa dalam interaksi keseharian lewat media sosial. Guru harus mampu menjadi attack and defense dalam proses pendidikan, dimana disatu sisi guru dituntut untuk melakukan transfer of knowledge tapi disisi lain guru juga dituntut untuk melakukan filter dan perbaikan karakter siswa akibat terkontaminasi arus globalisasi dan modernisasi. Cara guru untuk masuk dalam lingkungan media sosial siswa merupakan sebuah keharusan untuk memberikan peran lebih besar dalam proteksi sikap siswa dalam beraktifitas lewat dunia maya. Semua informasi terkait dengan proses pembelajaran dikaitkan semua pada media sosial sehingga mau tidak mau siswa harus selalu masuk dalam grup media sosial yang telah disepakati bersama sehingga memudahkan guru untuk melakukan pemantauan terhadap aktifitas siswa. Membimbing karakter anak bangsa melalui media sosial merupakan titik awal untuk melahirkan Indonesia berkarakter. Media sosial selayaknya mampu menjadi fasilitator untuk mengembangkan karakter individu dan membangkitkan semangat nasionalisme sehingga muncul pribadi-pribadi yang memiliki integritas tinggi terhadap cita-cita bangsa. Merubah karakter melalui sebuah apa yang menjadi sebuah trend di kalangan siswa kita akan terasa lebih mudah, karena siswa akan selalu menggunakan media sosial tersebut dalam menumpahkan segala ekspresinya. Ibarat suatu keluarga, media sosial seharusnya mampu menjadi ibu untuk membimbing anak-anaknya melalui jalan yang benar. Setiap generasi memiliki generasinya sendiri dan setiap zaman memiliki zamannya tersendiri. Kita tidak dapat merubah generasi yang kemarin dengan cara kita karena mereka juga memiliki generasinya sendiri. Sekarang saatnya kita membina anak-anak sesuai dengan cara-cara masa kini, mengingat anak-anak lebih mudah memahami sesuatu dari apa yang ia lihat dan rasakan sendiri. Kita dapat mengantisipasi perubahan karakter bangsa yang negatif melalui peran media sosial untuk jangka panjang kedepan, apabila anak-anak dibekali dengan pendidikan karakter lewat penggunaan media sosial secara positif, maka akan terlahir generasi yang kuat dan tangguh yang memiliki visi yang kuat kuat dalam membangun pilar-pilar bangsa. Dengan kata lain, perkembangan media sosial yang cukup besar disertai penggunaannya yang benar dapat memberikan hasil yang baik dalam membentengi diri, serta mewujudkan fungsi dan peran pendidikan karakter di sekolah yang bertujuan untuk membina potensi peserta didik secara utuh dan bulat, layak, manusiawi, dan berbudaya (civilized) serta membina nilai-nilai moral luhur budaya/kepribadian Bangsa Indonesia sebagai jati diri/kepribadian yang diyakini nalar, serta membudaya/membaku pada diri dan kehidupan generasi penerus. 

Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

Minggu, 18 Januari 2015

MEMBUMIKAN NILAI KETELADANAN GURU


Menjadi guru favorit tentunya menjadi dambaan bagi setiap insan guru. Banyak diantara murid kita yang mengagumi gurunya hanya dari wajah yang rupawan, murah dalam memberikan nilai, ataupun killer sehingga menimbulkan sensasi untuk menghadapinya. Ketika murid melihat guru favorit dari sudut pandang tersebut, tentunya ada sebuah pelajaran berharga, yaitu guru mempunyai kekuatan dahsyat dalam membentuk pribadi siswa lewat sikap dan tindakannya.
Nilai keteladanan guru menjadi senjata untuk mengatasi berbagai macam problematika moral siswa yang kini sedang di ambang krisis. Gejala terhadap krisis moral tengah mengancam generasi muda kita beberapa bulan belakangan ini, seperti meningkatnya kasus tawuran antar sekolah, kekerasan siswa gank motor, mewabahnya virus game online yang destruktif, menggejalanya video seks yang diperankan siswa, dan kehidupan glamour yang dicontohkan tayangan televisi.
Krisis moral yang akhir-akhir ini terjadi merupakan cerminan dari pelaksanaan sistem pendidikan di sekolah, yang mana kurikulumnya hanya berorientasi pada “nilai” dan guru tidak lagi memerankan fungsi keteladanan. Sekolah hanya mencetak siswa dengan standar nilai, sementara moral atau budi pekerti hanya menghiasai papan visi dan misi di halaman sekolah. Kondisi ini terjadi karena guru masih memandang pekerjaanya hanya sebagai penyampai pengetahuan dan informasi saja (transfer of knowledge) tanpa memperkuat fungsi keteladanan dan contoh budi pekerti yang luhur. Lantas, bagaimana kita mau membentuk moral dan karakter siswa yang bermartabat, manakala guru belum secara totalitas mau mereformasi diri dengan kekuatan pondasi moral dan spiritual.
Keteladanan guru bukan hanya ditunjukkan lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semata, akan tetapi aspek moral dan spiritual menjadi sumber kekuatan utama guru dalam membentuk pribadi siswa yang tangguh dan bermartabat. Kekuatan moral dan spiritual guru juga berfungsi untuk menangkal efek negatif dari pengaruh modernisasi jaman. Secara tidak sadar, euforia perkembangan teknologi dan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan guru menyeret guru untuk masuk dalam kubangan tersebut. Guru lebih suka bermain-main dengan gadget daripada membaca ataupun menulis, guru lebih banyak membicarakan masalah sertifikasi daripada mengajar dengan hati dan cinta. Semua itu tidak terlepas dari semakin pudarnya niatan awal seorang guru dari sebuah panggilan jiwa menjadi sebuah panggilan harta.   
Perubahan kurikulum dengan berbagai macam gaya dan model tidak serta merta membuat nilai keteladanan guru semakin meningkat, yang ada justru guru semakin terpuruk dengan berbagai macam problematika yang menimpanya. Cap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa luntur dengan gaya hedonis guru, kriminalitas pendidikan maupun premanisme guru. Kronisnya penyakit ini tentunya sangat berpengaruh terhadap sikap murid kepada gurunya. Guru bukan lagi sebagai sosok teladan, melainkan menjadi sosok yang menyebalkan, bahkan tidak sedikit murid yang merasa acuh dan kurang hormat kepada guru lantaran kepribadian dan sikapnya yang jauh dari nilai-nilai keteladanan.
Nilai-nilai moralitas di sekolah tidak begitu saja hadir dengan sendirinya. Ia butuh proses yang perlu dilaksanakan oleh semua komponen yang ada di sekolah. Proses ini secara sadar dan penuh tanggungjawab dilakukan oleh semua individu, terutama guru. Karena guru-lah sosok sentral yang akan dilihat, dipandang dan dicontoh oleh anak didiknya. Guru harus memiliki kekuatan gravitasi kepribadian yang kuat bagi siswanya sehingga ada kesempatan bagi guru untuk menebar nilai-nilai kebaikan yang kemudian akan menjadi kekuatan magnet tersendiri bagi siswanya. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap siswa akan  mengerjakan kebaikan yang hampir atau persis sama sebagaimana gurunya melakukan.
Keteladanan adalah alat pendidikan yang sangat efektif bagi kelangsungan komunikasi nilai-nilai luhur. Konsep keteladanan dalam pendidikan Ki Hajar Dewantara mendapat tekanan utamanya yaitu ‘ing ngarso sung tulodo’, melalui ing ngarso sung tulodo guru menampilkan keteladannya dalam bentuk tingkah laku, pembicaraan, cara bergaul, amal ibadah, tegur sapa dan sebagainya. Nilai-nilai luhur yang ditampilkan tersebut akan diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari dirinya, yang kemudian ditampilkannya pula dalam pergaulannya di lingkungannya.
Keteladanan guru harus tetap membumi seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan pendidikan yang ada di negeri ini. Membumikan keteladanan guru dapat dimulai dari dalam diri guru sendiri, keteladan harus dimulai dari siapapun tidak harus menanti sampai orang lain mengawalinya. Bila setiap pribadi guru memiliki kepedulian akan hal ini, tentunya semua akan dengan mudah terwujud pribadi-pribadi guru yang tangguh dan berkarakter. Selanjutnya dalam membumikan keteladanan dapat dimulai dari hal-hal yang paling kecil, meskipun kelihatan sepele, namun dari hal yang terkecil inilah akan muncul suatu kekuatan besar yang dahsyat dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Setelah hal yang terkecil bisa dilakukan maka langkah selanjutnya adalah konsistensi, dimana pelaksanaan harus dilakukan secara rutin dan terus menerus untuk mewujudkan sebuah tradisi yang baik.
Mari kita jadikan “membumikan nilai keteladanan” menjadi suatu gerakan yang wajib dilakukan oleh guru mulai sekarang juga. Gerakan ini harus mendapat dukungan dari semua pihak, terutama masyarakat sebagai pengguna dari sistem pendidikan. Belum ada kata terlambat untuk menyelamatkan anak didik kita dari merosotnya nilai-nilai moral akibat pengaruh virus globalisasi dunia.
Kita tentunya masih ingat pepatah yang selalu dikatakan oleh orang tua kita, “bahasa yang dikeluarkan dari hati maka akan masuk ke dalam hati”.  Karena itu, seorang guru sepatutnya dan semestinya mengajarkan anak didiknya dengan bahasa hati bukan emosi. Sehingga guru bukan lagi sebagai sosok yang “diguyu lan turu”. Jangan sampai guru ditertawai karena perilaku negatifnya, dan tidur karena kurang menariknya mata pelajaran yang diajarkan, menjenuhkan, dan membosankan.
Jadilah “Be Inspiring Teachers”, yaitu guru yang inspiratif dan mampu untuk memahami karakter siswa sehingga dapat melakukan strategi pembelajaran sesuai dengan karakter siswa, sehingga memudahkan siswa untuk menyerap semua informasi. Guru harus bisa mengajak siswa yang merasa tidak bisa apa-apa untuk belajar menjadi bisa. Guru tidak boleh memotivasi muridnya untuk berani mati, tapi harus memotivasi murid untuk berani menghadapi hidupnya.
Semoga dengan membumikan nilai-nilai keteladanan guru di institusi pendidikan, akan menghantarkan anak didik kita menjadi seseorang yang bermartabat dan bermoral ketika kelak menjadi seorang pemimpin.


Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

MENGGAGAS UN BERBASIS ONLINE

Ujian Nasional tingkat SMA/SMK/MA barusan selesai dilaksanakan dengan menyisakan banyak sekali permasalahan. Ditundanya UN di 11 propinsi sebagaimana dimuat di Harian Suara Merdeka 13/04/2013 memberikan bukti bahwasannya pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan tidak siap dalam melaksanakan UN 2013. Anggota Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), Prof. Mungin Eddy Wibowo mengatakan, mundurnya pelaksanaan UN di sejumlah provinsi khususnya di Indonesia Bagian Timur itu karena percetakan (PT Ghalia Indonesia Printing) yang ditunjuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) belum selesai mencetak naskah soal UN.
Sudah menjadi sebuah lagu lama bahwa saling menyalahkan menjadi suatu trend terkait dengan carut marutnya proses pelaksanaan UN 2013. Percetakan dituduh sebagai pihak yang paling bertanggungjawab akibat molornya jadwal penyelesaian soal-soal UN. Padahal, sesuai pasal 25 Permendikbud No. 3 Tahun 2013, penggandaan dan pendistribusian soal/lembar jawaban UN SMP/MTs/SMPLB/SMA/K/MA/K sederajat, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
"Artinya, semua persoalan terkait tata kelola, manajemen, dan keuangan yang terkait penggandaan soal, menjadi jawab tanggung jawab Kemendikbud," (www.tribunnews.com Tanggal 17 April 2013). Kejadian ini sekaligus membuktikan bahwa sistem manajemen, fungsi kontrol dan pengawasan, serta sikap profesional di Kemendikbud, patut dipertanyakan.
Amburadulnya pelaksanaan UN 2013 sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf atas terjadinya keterlambatan Ujian Nasional (UN). Hal ini disampaikan lewat akun Twitter pribadinya, Selasa (16/4/2013), seusai memanggil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh di Istana Negara (www.tribunjogja.com tanggal 16 April 2013).
"Pemerintah meminta maaf atas keterlambatan UN ini. Terima kasih kpd yg ikut membantu & mengatasinya, serta masukan melalui akun ini. *SBY*," tulisnya di akun @SBYudhoyono.
Sudah selayaknya pemerintah mengkaji ulang sistem pelaksanaan UN yang masih memberikan banyak sekali kelemahan dalam pelaksanaannya. Sistem yang sekarang ini ada masih rentan terhadap adanya kecurangan yang bisa terjadi hamper disetiap tahapan-tahapan UN. Mulai dari tahap pembuatan soal, percetakan, maupun distribusi soal memberikan celah yang cukup lebar bagi pihak-pihak yang ingin berbuat curang.
Fakta yang ada ini tentunya harus dicarikan sebuah solusi yang tepat untuk mendapatkan bentuk sistem UN yang cocok diterapkan di Indonesia. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN, kita sebagai warga Negara ikut urun rembug terhadap kondisi yang memprihatinkan ini. Apalagi pelaksanaan UN 2013 untuk jenjang SMA/SMK/MA yang baru saja berakhir menjadi sebuah tragedi dalam dunia pendidikan di Indonesia dan ini merupakan sejarah dimana Ujian Nasional tidak dapat dilaksanakan secara serentak.
Berbagai analisa menyebutkan bahwa sistem pelaksanaan menjadi catatan terburuk dalam penyelenggaraan UN selama ini, disamping faktor manusia. Untuk mengatasi permasalahan yang semakin kompleks dari tahun ke tahun dan menyikapi dengan era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, maka sebuah bentuk solusi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini yaitu dengan menyelenggarakan UN dengan menggunakan sistem online.
Sistem online dianggap mampu untuk mengatasi permasalahan dalam proses percetakan maupun distribusi soal, dimana 2 (dua) hal ini menjadi penyebab kacaunya pelaksanaan UN 2013. Sistem online juga meminimalkan proses terjadinya kebocoran soal, karena semua proses pengolahan data dari mulai proses soal sampai pada proses penilaian semua dijalankan lewat jaringan komputer. Dalam penyelenggaraan UN berbasis online ini proses penilaian juga dapat diketahui secara cepat dan tepat, karena kunci jawaban sudah dimasukkan kedalam sistem database sehingga lamanya proses penilaian dengan menggunakan scanner dapat diatasi dengan sistem online ini dan tentunya ini merupakan segi penghematan dalam tahapan koreksi UN.  
Sistem online ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu barat, tengah dan timur, dimana masing-masing zona mempunyai pusat server masing-masing. Pembagian zona ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas data lewat jaringan komputer apabila hanya mengandalkan 1 (satu) server saja sebagai pusat. Berkaca dari pengalaman UKG yang baru-baru ini dilaksanakan oleh Kemendikbud, maka kendala terbesar adalah jaringan atau koneksi server diperbesar kapasitasnya. Untuk merealisasikan proyek ini tentunya Kemendikbud dapat menggandeng PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) sebagai penyedia layanan teknologi informasi dan komunikasi terutama untuk perangkat lunak dan jaringan internetnya.  
Untuk merealisasikan sistem UN berbasis online ini pada awalnya tidak serta merta pemerintah menerapkan pada semua wilayah yang ada di Indonesia, hal ini bertujuan untuk melihat efektifiktas dan efisiensi dari sistem UN online ini. Kalau memang daerah yang dijadikan sampel tersebut berhasil dalam menerapkan sistem UN berbasis online ini, maka sudah sepatutnya pemerintah untuk dapat menerapkan UN online ini ke daerah lain secara bertahap sampai mendapatkan kondisi ideal UN online bisa diterapkan disemua daerah di Indonesia.
Lantas pertanyaan yang muncul adalah berapa besar biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menyediakan perangkat keras dan perangkat lunak komputer. Harus diakui memang biaya yang dibutuhkan cukup besar, tetapi kalau kita melihat anggaran untuk UN sebesar 600 milyar dalam tahun 2013 (www.radarlampung.co.id 11 Desember 2012) atau naik 100 milyar dari tahun kemarin sebesar 500 milyar, rasanya sia-sia kalau anggaran sebesar itu hanya habis dan tidak ada bekasnya sama sekali. Berbeda manakala anggaran sebesar itu digunakan untuk pengadaan dan pengembangan perangkat teknologi informasi komunikasi, dimana Ujian Nasional selesai maka alat beserta propertinya masih utuh dan dapat digunakan lagi untuk pelaksanaan UN tahun berikutnya.
Mudah-mudahan lewat solusi ini dapat menjadi sebuah jawaban atas problematika pelaksanaan UN yang dari tahun ke tahun tidak semakin baik malah semakin memprihatinkan. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN berbasis online, maka sudah sewajarnya kita bersama-sama untuk memikirkan jalan terbaik bagi kemajuan pendidikan di Indonesia, khususnya pelaksanaan Ujian Nasional.

Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

SUPERVISI PENDIDIKAN BERBASIS VIRTUAL

Dalam manajemen pengelolaan sebuah sekolah tentunya dibutuhkan suatu supervisi untuk dapat mengetahui dan mengevaluasi segala kekurangan yang ada di sekolah. Supervisi dapat dilakukan oleh kepala sekolah, penilik ataupun pengawas. Masing-masing memiliki fungsi yang hampir sama, namun jika untuk menilai keseluruhan dari mulai akademis, kelembagaan dan administrasi sekolah maka dibutuhkan pengawas dari lembaga tertinggi yang nantinya akan ditunjuk oleh dinas pendidikan secara langsung untuk melakukan penilaian dan pengawasan, sedangkan orang yang mengawasi ini disebut dengan supervisor. Sebagai kegiatan pengawasan yang mengacu pada unsur pembinaan, supervisi pendidikan yang ada saat ini belum sesuai harapan. Meski terbukti tetap dilakukan hingga saat ini, namun hasil dari supervisi pendidikan yang ada justru tidak mencerminkan gambaran informasi dan data yang sebenarnya. Supervisi telah kehilangan ruhnya sebagai fungsi controlling dan pembinaan terhadap guru di sekolah. Supervisi apa adanya (natural) telah hilang dari budaya pendidikan kita, yang lazim adalah pelaksanaan supervisi di sekolah sudah diketahui jauh-jauh hari sebelumnya, jadi tentunya tidak ada kejutan lagi dan terkesan semua sudah dipersiapkan. Sungguh ironis apabila supervisi lebih dimaknai sebagai kegiatan ritual rutin untuk memenuhi aspek formal dan time schedule yang telah ditetapkan. Selain itu, supervisi masih dipandang sebagai suatu hal yang menakutkan bagi sebagian guru, hal ini tidak terlepas dari metode yang kaku dan harus sesuai dengan pakem yang selama ini masih dipakai dalam pelaksanaan supervisi di sekolah. Andaikan supervisi dikemas dengan sebuah metode yang rileks dan fun tentunya hal ini akan menghasilkan kenyamanan bagi guru sebagai objek yang akan di supervisi. Kenyamanan guru dalam pelaksanaan supervisi sangat dibutuhkan karena sebaik apapun bentuk supervisi yang dilakukan kalau output yang dihasilkan tidak membuat guru menjadi lebih baik, maka dapat dikatakan supervisi tersebut telah gagal. Selama ini supervisi masih menggunakan metode konvensional, dimana supervisor datang ke sekolah dan bertatap muka secara langsung dengan guru yang menjadi binaannya untuk menggali berbagai macam permasalahan yang terkait dengan proses pembelajaran. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana apabila pada saat yang sudah ditentukan ternyata salah satu diantara supervisor ataupun guru tidak bisa menunaikan kewajibannya karena berhalangan hadir di sekolah. Apakah lantas supervisi ditunda dalam waktu yang tidak ditentukan ataukah bahkan bisa jadi batal pelaksanaannya. Lantas sampai kapan kita terus berkutat dengan budaya rutinitas yang tak pasti ini ? Fakta ini semakin menguatkan bahwa keberadaan seorang supervisor ternyata belum mampu menjawab semua permasalahan yang selama ini terjadi pada saat supervisi dilakukan. Supervisi pendidikan berbasis virtual (internet) menjadi sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Kendala minimnya interaksi antara supervisor dengan guru secara langsung, waktu dan tempat pelaksanaan supervisi yang selama ini menjadi hambatan akan mudah teratasi dengan sistem ini. Model supervisi berbasis virtual sangat efektif dan efisien, hal ini dikarenakan seorang supervisor dapat memantau aktivitas guru binaannya tidak harus di sekolah tanpa batasan waktu, tempat dan jarak. Selain itu, model ini dapat lebih memberikan keleluasaan bagi guru untuk menyampaikan aspirasi/masukan terkait dengan kualitas pembelajaran tanpa harus bertatap muka secara langsung dengan seorang supervisor. Dengan supervisi berbasis virtual seorang supervisor dalam satu tempat dapat mengontrol banyak guru yang ada di sekolah berbeda. Hal ini tentunya tidak bisa dilakukan apabila masih memakai cara konvensional, dimana pada satu tempat supervisor hanya mampu melayani guru yang ada di sekolah tersebut. Kolaborasi antara supervisor dengan guru lintas sekolah yang berbeda lewat diskusi online diharapkan mampu menghasilkan banyak kajian dalam peningkatan mutu pembelajaran. Supervisi berbasis virtual ini sangat fleksibel untuk dilaksanakan kapan dan dimana saja tanpa ada batasan waktu sehingga akan memberikan keleluasaan bagi supervisor dan guru untuk melakukan sharing informasi. Lantas, pertanyaan yang muncul adalah berapa biaya pengembangan yang harus dikeluarkan untuk pembuatan model supervisi virtual ini ? Don’t Worry be Happy karena pengembangan model supervisi berbasis virtual ini dapat menggunakan moodle yang sifatnya open source sehingga dapat digunakan secara gratis dan dimodifikasi sesuai kebutuhan pengguna karena source code-nya sudah tersedia. Fasilitas didalam moodle akan memberikan ruang yang tidak terbatas bagi supervisor dan guru untuk berinteraksi secara virtual. Solusi ini tentunya menjadi sebuah jawaban atas problematika dalam pelaksanaan supervisi yang masih berkutat dengan cara konvensional. Tantangan kedepan semakin berat bagi seorang supervisor, dimana kurikulum 2013 siap menanti dan siap untuk diaplikasikan ke sekolah binaannya. Sekarang masihkah kita enggan berbenah untuk memperbaiki kekurangan kita selama ini. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap pelaksanaan supervisi berbasis virtual ini, maka sudah sewajarnya kita turut serta dalam upaya menemukan sebuah metode terbaik dalam rangka perbaikan mutu pendidikan di Indonesia. Pada akhirnya, model supervisi pendidikan berbasis virtual ini diharapkan mampu menjadi pelopor bagi institusi pendidikan untuk menjadikan sebuah lembaga yang ramah terhadap lingkungan. Saatnya pada era teknologi informasi dan komunikasi ini kebijakan-kebijakan nirkertas dapat diimplementasikan kedalam sistem pendidikan kita sehingga kemajuan teknologi akan semakin memudahkan hidup kita, sekaligus menjadikan kita semakin ramah terhadap lingkungan. 

Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd