Minggu, 18 Januari 2015

MEMBUMIKAN NILAI KETELADANAN GURU


Menjadi guru favorit tentunya menjadi dambaan bagi setiap insan guru. Banyak diantara murid kita yang mengagumi gurunya hanya dari wajah yang rupawan, murah dalam memberikan nilai, ataupun killer sehingga menimbulkan sensasi untuk menghadapinya. Ketika murid melihat guru favorit dari sudut pandang tersebut, tentunya ada sebuah pelajaran berharga, yaitu guru mempunyai kekuatan dahsyat dalam membentuk pribadi siswa lewat sikap dan tindakannya.
Nilai keteladanan guru menjadi senjata untuk mengatasi berbagai macam problematika moral siswa yang kini sedang di ambang krisis. Gejala terhadap krisis moral tengah mengancam generasi muda kita beberapa bulan belakangan ini, seperti meningkatnya kasus tawuran antar sekolah, kekerasan siswa gank motor, mewabahnya virus game online yang destruktif, menggejalanya video seks yang diperankan siswa, dan kehidupan glamour yang dicontohkan tayangan televisi.
Krisis moral yang akhir-akhir ini terjadi merupakan cerminan dari pelaksanaan sistem pendidikan di sekolah, yang mana kurikulumnya hanya berorientasi pada “nilai” dan guru tidak lagi memerankan fungsi keteladanan. Sekolah hanya mencetak siswa dengan standar nilai, sementara moral atau budi pekerti hanya menghiasai papan visi dan misi di halaman sekolah. Kondisi ini terjadi karena guru masih memandang pekerjaanya hanya sebagai penyampai pengetahuan dan informasi saja (transfer of knowledge) tanpa memperkuat fungsi keteladanan dan contoh budi pekerti yang luhur. Lantas, bagaimana kita mau membentuk moral dan karakter siswa yang bermartabat, manakala guru belum secara totalitas mau mereformasi diri dengan kekuatan pondasi moral dan spiritual.
Keteladanan guru bukan hanya ditunjukkan lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semata, akan tetapi aspek moral dan spiritual menjadi sumber kekuatan utama guru dalam membentuk pribadi siswa yang tangguh dan bermartabat. Kekuatan moral dan spiritual guru juga berfungsi untuk menangkal efek negatif dari pengaruh modernisasi jaman. Secara tidak sadar, euforia perkembangan teknologi dan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan guru menyeret guru untuk masuk dalam kubangan tersebut. Guru lebih suka bermain-main dengan gadget daripada membaca ataupun menulis, guru lebih banyak membicarakan masalah sertifikasi daripada mengajar dengan hati dan cinta. Semua itu tidak terlepas dari semakin pudarnya niatan awal seorang guru dari sebuah panggilan jiwa menjadi sebuah panggilan harta.   
Perubahan kurikulum dengan berbagai macam gaya dan model tidak serta merta membuat nilai keteladanan guru semakin meningkat, yang ada justru guru semakin terpuruk dengan berbagai macam problematika yang menimpanya. Cap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa luntur dengan gaya hedonis guru, kriminalitas pendidikan maupun premanisme guru. Kronisnya penyakit ini tentunya sangat berpengaruh terhadap sikap murid kepada gurunya. Guru bukan lagi sebagai sosok teladan, melainkan menjadi sosok yang menyebalkan, bahkan tidak sedikit murid yang merasa acuh dan kurang hormat kepada guru lantaran kepribadian dan sikapnya yang jauh dari nilai-nilai keteladanan.
Nilai-nilai moralitas di sekolah tidak begitu saja hadir dengan sendirinya. Ia butuh proses yang perlu dilaksanakan oleh semua komponen yang ada di sekolah. Proses ini secara sadar dan penuh tanggungjawab dilakukan oleh semua individu, terutama guru. Karena guru-lah sosok sentral yang akan dilihat, dipandang dan dicontoh oleh anak didiknya. Guru harus memiliki kekuatan gravitasi kepribadian yang kuat bagi siswanya sehingga ada kesempatan bagi guru untuk menebar nilai-nilai kebaikan yang kemudian akan menjadi kekuatan magnet tersendiri bagi siswanya. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap siswa akan  mengerjakan kebaikan yang hampir atau persis sama sebagaimana gurunya melakukan.
Keteladanan adalah alat pendidikan yang sangat efektif bagi kelangsungan komunikasi nilai-nilai luhur. Konsep keteladanan dalam pendidikan Ki Hajar Dewantara mendapat tekanan utamanya yaitu ‘ing ngarso sung tulodo’, melalui ing ngarso sung tulodo guru menampilkan keteladannya dalam bentuk tingkah laku, pembicaraan, cara bergaul, amal ibadah, tegur sapa dan sebagainya. Nilai-nilai luhur yang ditampilkan tersebut akan diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari dirinya, yang kemudian ditampilkannya pula dalam pergaulannya di lingkungannya.
Keteladanan guru harus tetap membumi seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan pendidikan yang ada di negeri ini. Membumikan keteladanan guru dapat dimulai dari dalam diri guru sendiri, keteladan harus dimulai dari siapapun tidak harus menanti sampai orang lain mengawalinya. Bila setiap pribadi guru memiliki kepedulian akan hal ini, tentunya semua akan dengan mudah terwujud pribadi-pribadi guru yang tangguh dan berkarakter. Selanjutnya dalam membumikan keteladanan dapat dimulai dari hal-hal yang paling kecil, meskipun kelihatan sepele, namun dari hal yang terkecil inilah akan muncul suatu kekuatan besar yang dahsyat dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Setelah hal yang terkecil bisa dilakukan maka langkah selanjutnya adalah konsistensi, dimana pelaksanaan harus dilakukan secara rutin dan terus menerus untuk mewujudkan sebuah tradisi yang baik.
Mari kita jadikan “membumikan nilai keteladanan” menjadi suatu gerakan yang wajib dilakukan oleh guru mulai sekarang juga. Gerakan ini harus mendapat dukungan dari semua pihak, terutama masyarakat sebagai pengguna dari sistem pendidikan. Belum ada kata terlambat untuk menyelamatkan anak didik kita dari merosotnya nilai-nilai moral akibat pengaruh virus globalisasi dunia.
Kita tentunya masih ingat pepatah yang selalu dikatakan oleh orang tua kita, “bahasa yang dikeluarkan dari hati maka akan masuk ke dalam hati”.  Karena itu, seorang guru sepatutnya dan semestinya mengajarkan anak didiknya dengan bahasa hati bukan emosi. Sehingga guru bukan lagi sebagai sosok yang “diguyu lan turu”. Jangan sampai guru ditertawai karena perilaku negatifnya, dan tidur karena kurang menariknya mata pelajaran yang diajarkan, menjenuhkan, dan membosankan.
Jadilah “Be Inspiring Teachers”, yaitu guru yang inspiratif dan mampu untuk memahami karakter siswa sehingga dapat melakukan strategi pembelajaran sesuai dengan karakter siswa, sehingga memudahkan siswa untuk menyerap semua informasi. Guru harus bisa mengajak siswa yang merasa tidak bisa apa-apa untuk belajar menjadi bisa. Guru tidak boleh memotivasi muridnya untuk berani mati, tapi harus memotivasi murid untuk berani menghadapi hidupnya.
Semoga dengan membumikan nilai-nilai keteladanan guru di institusi pendidikan, akan menghantarkan anak didik kita menjadi seseorang yang bermartabat dan bermoral ketika kelak menjadi seorang pemimpin.


Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

0 komentar:

Posting Komentar