Menjadi
guru favorit tentunya menjadi dambaan bagi setiap insan guru. Banyak diantara
murid kita yang mengagumi gurunya hanya dari wajah yang rupawan, murah dalam
memberikan nilai, ataupun killer
sehingga menimbulkan sensasi untuk menghadapinya. Ketika murid melihat guru
favorit dari sudut pandang tersebut, tentunya ada sebuah pelajaran berharga, yaitu
guru mempunyai kekuatan dahsyat dalam membentuk pribadi siswa lewat sikap dan
tindakannya.
Nilai
keteladanan guru menjadi senjata untuk mengatasi berbagai macam problematika
moral siswa yang kini sedang di ambang krisis. Gejala terhadap krisis moral tengah
mengancam generasi muda kita beberapa bulan belakangan ini, seperti
meningkatnya kasus tawuran antar sekolah, kekerasan siswa gank motor, mewabahnya
virus game online yang destruktif, menggejalanya video seks yang diperankan
siswa, dan kehidupan glamour yang dicontohkan tayangan televisi.
Krisis moral yang
akhir-akhir ini terjadi merupakan cerminan dari pelaksanaan sistem pendidikan
di sekolah, yang mana kurikulumnya hanya berorientasi pada “nilai” dan guru tidak
lagi memerankan fungsi keteladanan. Sekolah hanya mencetak siswa dengan standar
nilai, sementara moral atau budi pekerti hanya menghiasai papan visi dan misi di
halaman sekolah. Kondisi ini terjadi karena guru masih memandang pekerjaanya
hanya sebagai penyampai pengetahuan dan informasi saja (transfer of knowledge) tanpa memperkuat fungsi keteladanan dan
contoh budi pekerti yang luhur. Lantas, bagaimana kita mau membentuk moral dan
karakter siswa yang bermartabat, manakala guru belum secara totalitas mau
mereformasi diri dengan kekuatan pondasi moral dan spiritual.
Keteladanan
guru bukan hanya ditunjukkan lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
semata, akan tetapi aspek moral dan spiritual menjadi sumber kekuatan utama
guru dalam membentuk pribadi siswa yang tangguh dan bermartabat. Kekuatan moral
dan spiritual guru juga berfungsi untuk menangkal efek negatif dari pengaruh
modernisasi jaman. Secara tidak sadar, euforia perkembangan teknologi dan
semakin membaiknya tingkat kesejahteraan guru menyeret guru untuk masuk dalam
kubangan tersebut. Guru lebih suka bermain-main dengan gadget daripada membaca
ataupun menulis, guru lebih banyak membicarakan masalah sertifikasi daripada
mengajar dengan hati dan cinta. Semua itu tidak terlepas dari semakin pudarnya
niatan awal seorang guru dari sebuah panggilan jiwa menjadi sebuah panggilan
harta.
Perubahan
kurikulum dengan berbagai macam gaya dan model tidak serta merta membuat nilai
keteladanan guru semakin meningkat, yang ada justru guru semakin terpuruk
dengan berbagai macam problematika yang menimpanya. Cap guru sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa luntur dengan gaya hedonis guru, kriminalitas pendidikan
maupun premanisme guru. Kronisnya penyakit ini tentunya sangat berpengaruh
terhadap sikap murid kepada gurunya. Guru bukan lagi sebagai sosok teladan,
melainkan menjadi sosok yang menyebalkan, bahkan tidak sedikit murid yang
merasa acuh dan kurang hormat kepada guru lantaran kepribadian dan sikapnya
yang jauh dari nilai-nilai keteladanan.
Nilai-nilai
moralitas di sekolah tidak begitu saja hadir dengan sendirinya. Ia butuh proses
yang perlu dilaksanakan oleh semua komponen yang ada di sekolah. Proses ini
secara sadar dan penuh tanggungjawab dilakukan oleh semua individu, terutama
guru. Karena guru-lah sosok sentral yang akan dilihat, dipandang dan dicontoh
oleh anak didiknya. Guru harus memiliki kekuatan gravitasi kepribadian yang
kuat bagi siswanya sehingga ada kesempatan bagi guru untuk menebar nilai-nilai
kebaikan yang kemudian akan menjadi kekuatan magnet tersendiri bagi siswanya.
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap siswa akan mengerjakan kebaikan yang hampir atau persis
sama sebagaimana gurunya melakukan.
Keteladanan adalah alat pendidikan
yang sangat efektif bagi kelangsungan komunikasi nilai-nilai luhur. Konsep
keteladanan dalam pendidikan Ki Hajar Dewantara mendapat tekanan utamanya yaitu
‘ing ngarso sung tulodo’, melalui ing ngarso sung tulodo guru menampilkan
keteladannya dalam bentuk tingkah laku, pembicaraan, cara bergaul, amal ibadah,
tegur sapa dan sebagainya. Nilai-nilai luhur yang ditampilkan tersebut akan
diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari dirinya, yang kemudian
ditampilkannya pula dalam pergaulannya di lingkungannya.
Keteladanan guru harus tetap membumi
seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan pendidikan yang ada di negeri
ini. Membumikan keteladanan guru dapat dimulai dari dalam diri guru sendiri, keteladan
harus dimulai dari siapapun tidak harus menanti sampai orang lain mengawalinya.
Bila setiap pribadi guru memiliki kepedulian akan hal ini, tentunya semua akan
dengan mudah terwujud pribadi-pribadi guru yang tangguh dan berkarakter. Selanjutnya dalam membumikan
keteladanan dapat dimulai dari hal-hal yang paling kecil, meskipun kelihatan
sepele, namun dari hal yang terkecil inilah akan muncul suatu kekuatan besar yang
dahsyat dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Setelah hal yang terkecil bisa
dilakukan maka langkah selanjutnya adalah konsistensi, dimana pelaksanaan harus
dilakukan secara rutin dan terus menerus untuk mewujudkan sebuah tradisi yang
baik.
Mari kita
jadikan “membumikan nilai keteladanan”
menjadi suatu gerakan yang wajib dilakukan oleh guru mulai sekarang juga.
Gerakan ini harus mendapat dukungan dari semua pihak, terutama masyarakat
sebagai pengguna dari sistem pendidikan. Belum ada kata terlambat untuk
menyelamatkan anak didik kita dari merosotnya nilai-nilai moral akibat pengaruh
virus globalisasi dunia.
Kita tentunya masih ingat pepatah
yang selalu dikatakan oleh orang tua kita, “bahasa
yang dikeluarkan dari hati maka akan masuk ke dalam hati”. Karena
itu, seorang guru sepatutnya dan semestinya mengajarkan anak didiknya dengan
bahasa hati bukan emosi. Sehingga guru bukan lagi sebagai sosok yang “diguyu
lan turu”. Jangan sampai guru ditertawai karena perilaku negatifnya, dan
tidur karena kurang menariknya mata pelajaran yang diajarkan, menjenuhkan, dan
membosankan.
Jadilah “Be Inspiring Teachers”, yaitu guru yang
inspiratif dan mampu untuk memahami karakter siswa sehingga dapat melakukan
strategi pembelajaran sesuai dengan karakter siswa, sehingga memudahkan siswa untuk
menyerap semua informasi. Guru harus bisa mengajak siswa yang merasa tidak bisa
apa-apa untuk belajar menjadi bisa. Guru tidak boleh memotivasi muridnya untuk
berani mati, tapi harus memotivasi murid untuk berani menghadapi hidupnya.
Semoga dengan membumikan nilai-nilai
keteladanan guru di institusi pendidikan, akan menghantarkan anak didik kita menjadi
seseorang yang bermartabat dan bermoral ketika kelak menjadi seorang pemimpin.
Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd
0 komentar:
Posting Komentar