Upacara HUT Korpri

Hari ulang tahun Korpri merupakan momentum untuk meningkatkan profesionalisme guru dan karyawan yang ada di lingkungan SMA Negeri 6 Semarang, semangat untuk berkarya selalu menjadi yang terdepan dalam membangun kebersamaan di SMA Negeri 6 Semarang

SMA Negeri 6 Peduli Sesama Terdampak Covid-19

Civitas akademika SMA Negeri 6 Semarang memberikan bantuan kepada keluarga miskin yang terdampak Covid-19 di Kota Semarang dan sekitarnya. Bantuan ini diharapkan meringankan beban dari keluarga yang terdampak langsung akibat mewabahnya virus Covid-19

Tasyakuran HUT Korpri

Rasa syukur civitas akademika SMA Negeri 6 Semarang dalam memperingati HUT Korpri diwujudkan dalam bentuk tumpengan, semoga kedepannya SMA Negeri 6 Semarang akan selalu mendapat ridho Allah SWT dalam setiap langkah gerak memajukan dunia pendidikan di Kota Semarang

Pelepasan Peserta Didik Kelas XII Tahun Pelajaran 2018/2019

Pelepasan peserta didik kelas XII SMA Negeri 6 Semarang Tahun Pelajaran 2018/2019, Tanggal 17 Mei 2019 bertempat di gedung UTC Unnes Semarang

Minggu, 18 Januari 2015

MEMBUMIKAN NILAI KETELADANAN GURU


Menjadi guru favorit tentunya menjadi dambaan bagi setiap insan guru. Banyak diantara murid kita yang mengagumi gurunya hanya dari wajah yang rupawan, murah dalam memberikan nilai, ataupun killer sehingga menimbulkan sensasi untuk menghadapinya. Ketika murid melihat guru favorit dari sudut pandang tersebut, tentunya ada sebuah pelajaran berharga, yaitu guru mempunyai kekuatan dahsyat dalam membentuk pribadi siswa lewat sikap dan tindakannya.
Nilai keteladanan guru menjadi senjata untuk mengatasi berbagai macam problematika moral siswa yang kini sedang di ambang krisis. Gejala terhadap krisis moral tengah mengancam generasi muda kita beberapa bulan belakangan ini, seperti meningkatnya kasus tawuran antar sekolah, kekerasan siswa gank motor, mewabahnya virus game online yang destruktif, menggejalanya video seks yang diperankan siswa, dan kehidupan glamour yang dicontohkan tayangan televisi.
Krisis moral yang akhir-akhir ini terjadi merupakan cerminan dari pelaksanaan sistem pendidikan di sekolah, yang mana kurikulumnya hanya berorientasi pada “nilai” dan guru tidak lagi memerankan fungsi keteladanan. Sekolah hanya mencetak siswa dengan standar nilai, sementara moral atau budi pekerti hanya menghiasai papan visi dan misi di halaman sekolah. Kondisi ini terjadi karena guru masih memandang pekerjaanya hanya sebagai penyampai pengetahuan dan informasi saja (transfer of knowledge) tanpa memperkuat fungsi keteladanan dan contoh budi pekerti yang luhur. Lantas, bagaimana kita mau membentuk moral dan karakter siswa yang bermartabat, manakala guru belum secara totalitas mau mereformasi diri dengan kekuatan pondasi moral dan spiritual.
Keteladanan guru bukan hanya ditunjukkan lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semata, akan tetapi aspek moral dan spiritual menjadi sumber kekuatan utama guru dalam membentuk pribadi siswa yang tangguh dan bermartabat. Kekuatan moral dan spiritual guru juga berfungsi untuk menangkal efek negatif dari pengaruh modernisasi jaman. Secara tidak sadar, euforia perkembangan teknologi dan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan guru menyeret guru untuk masuk dalam kubangan tersebut. Guru lebih suka bermain-main dengan gadget daripada membaca ataupun menulis, guru lebih banyak membicarakan masalah sertifikasi daripada mengajar dengan hati dan cinta. Semua itu tidak terlepas dari semakin pudarnya niatan awal seorang guru dari sebuah panggilan jiwa menjadi sebuah panggilan harta.   
Perubahan kurikulum dengan berbagai macam gaya dan model tidak serta merta membuat nilai keteladanan guru semakin meningkat, yang ada justru guru semakin terpuruk dengan berbagai macam problematika yang menimpanya. Cap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa luntur dengan gaya hedonis guru, kriminalitas pendidikan maupun premanisme guru. Kronisnya penyakit ini tentunya sangat berpengaruh terhadap sikap murid kepada gurunya. Guru bukan lagi sebagai sosok teladan, melainkan menjadi sosok yang menyebalkan, bahkan tidak sedikit murid yang merasa acuh dan kurang hormat kepada guru lantaran kepribadian dan sikapnya yang jauh dari nilai-nilai keteladanan.
Nilai-nilai moralitas di sekolah tidak begitu saja hadir dengan sendirinya. Ia butuh proses yang perlu dilaksanakan oleh semua komponen yang ada di sekolah. Proses ini secara sadar dan penuh tanggungjawab dilakukan oleh semua individu, terutama guru. Karena guru-lah sosok sentral yang akan dilihat, dipandang dan dicontoh oleh anak didiknya. Guru harus memiliki kekuatan gravitasi kepribadian yang kuat bagi siswanya sehingga ada kesempatan bagi guru untuk menebar nilai-nilai kebaikan yang kemudian akan menjadi kekuatan magnet tersendiri bagi siswanya. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap siswa akan  mengerjakan kebaikan yang hampir atau persis sama sebagaimana gurunya melakukan.
Keteladanan adalah alat pendidikan yang sangat efektif bagi kelangsungan komunikasi nilai-nilai luhur. Konsep keteladanan dalam pendidikan Ki Hajar Dewantara mendapat tekanan utamanya yaitu ‘ing ngarso sung tulodo’, melalui ing ngarso sung tulodo guru menampilkan keteladannya dalam bentuk tingkah laku, pembicaraan, cara bergaul, amal ibadah, tegur sapa dan sebagainya. Nilai-nilai luhur yang ditampilkan tersebut akan diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari dirinya, yang kemudian ditampilkannya pula dalam pergaulannya di lingkungannya.
Keteladanan guru harus tetap membumi seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan pendidikan yang ada di negeri ini. Membumikan keteladanan guru dapat dimulai dari dalam diri guru sendiri, keteladan harus dimulai dari siapapun tidak harus menanti sampai orang lain mengawalinya. Bila setiap pribadi guru memiliki kepedulian akan hal ini, tentunya semua akan dengan mudah terwujud pribadi-pribadi guru yang tangguh dan berkarakter. Selanjutnya dalam membumikan keteladanan dapat dimulai dari hal-hal yang paling kecil, meskipun kelihatan sepele, namun dari hal yang terkecil inilah akan muncul suatu kekuatan besar yang dahsyat dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Setelah hal yang terkecil bisa dilakukan maka langkah selanjutnya adalah konsistensi, dimana pelaksanaan harus dilakukan secara rutin dan terus menerus untuk mewujudkan sebuah tradisi yang baik.
Mari kita jadikan “membumikan nilai keteladanan” menjadi suatu gerakan yang wajib dilakukan oleh guru mulai sekarang juga. Gerakan ini harus mendapat dukungan dari semua pihak, terutama masyarakat sebagai pengguna dari sistem pendidikan. Belum ada kata terlambat untuk menyelamatkan anak didik kita dari merosotnya nilai-nilai moral akibat pengaruh virus globalisasi dunia.
Kita tentunya masih ingat pepatah yang selalu dikatakan oleh orang tua kita, “bahasa yang dikeluarkan dari hati maka akan masuk ke dalam hati”.  Karena itu, seorang guru sepatutnya dan semestinya mengajarkan anak didiknya dengan bahasa hati bukan emosi. Sehingga guru bukan lagi sebagai sosok yang “diguyu lan turu”. Jangan sampai guru ditertawai karena perilaku negatifnya, dan tidur karena kurang menariknya mata pelajaran yang diajarkan, menjenuhkan, dan membosankan.
Jadilah “Be Inspiring Teachers”, yaitu guru yang inspiratif dan mampu untuk memahami karakter siswa sehingga dapat melakukan strategi pembelajaran sesuai dengan karakter siswa, sehingga memudahkan siswa untuk menyerap semua informasi. Guru harus bisa mengajak siswa yang merasa tidak bisa apa-apa untuk belajar menjadi bisa. Guru tidak boleh memotivasi muridnya untuk berani mati, tapi harus memotivasi murid untuk berani menghadapi hidupnya.
Semoga dengan membumikan nilai-nilai keteladanan guru di institusi pendidikan, akan menghantarkan anak didik kita menjadi seseorang yang bermartabat dan bermoral ketika kelak menjadi seorang pemimpin.


Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

MENGGAGAS UN BERBASIS ONLINE

Ujian Nasional tingkat SMA/SMK/MA barusan selesai dilaksanakan dengan menyisakan banyak sekali permasalahan. Ditundanya UN di 11 propinsi sebagaimana dimuat di Harian Suara Merdeka 13/04/2013 memberikan bukti bahwasannya pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan tidak siap dalam melaksanakan UN 2013. Anggota Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), Prof. Mungin Eddy Wibowo mengatakan, mundurnya pelaksanaan UN di sejumlah provinsi khususnya di Indonesia Bagian Timur itu karena percetakan (PT Ghalia Indonesia Printing) yang ditunjuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) belum selesai mencetak naskah soal UN.
Sudah menjadi sebuah lagu lama bahwa saling menyalahkan menjadi suatu trend terkait dengan carut marutnya proses pelaksanaan UN 2013. Percetakan dituduh sebagai pihak yang paling bertanggungjawab akibat molornya jadwal penyelesaian soal-soal UN. Padahal, sesuai pasal 25 Permendikbud No. 3 Tahun 2013, penggandaan dan pendistribusian soal/lembar jawaban UN SMP/MTs/SMPLB/SMA/K/MA/K sederajat, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
"Artinya, semua persoalan terkait tata kelola, manajemen, dan keuangan yang terkait penggandaan soal, menjadi jawab tanggung jawab Kemendikbud," (www.tribunnews.com Tanggal 17 April 2013). Kejadian ini sekaligus membuktikan bahwa sistem manajemen, fungsi kontrol dan pengawasan, serta sikap profesional di Kemendikbud, patut dipertanyakan.
Amburadulnya pelaksanaan UN 2013 sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf atas terjadinya keterlambatan Ujian Nasional (UN). Hal ini disampaikan lewat akun Twitter pribadinya, Selasa (16/4/2013), seusai memanggil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh di Istana Negara (www.tribunjogja.com tanggal 16 April 2013).
"Pemerintah meminta maaf atas keterlambatan UN ini. Terima kasih kpd yg ikut membantu & mengatasinya, serta masukan melalui akun ini. *SBY*," tulisnya di akun @SBYudhoyono.
Sudah selayaknya pemerintah mengkaji ulang sistem pelaksanaan UN yang masih memberikan banyak sekali kelemahan dalam pelaksanaannya. Sistem yang sekarang ini ada masih rentan terhadap adanya kecurangan yang bisa terjadi hamper disetiap tahapan-tahapan UN. Mulai dari tahap pembuatan soal, percetakan, maupun distribusi soal memberikan celah yang cukup lebar bagi pihak-pihak yang ingin berbuat curang.
Fakta yang ada ini tentunya harus dicarikan sebuah solusi yang tepat untuk mendapatkan bentuk sistem UN yang cocok diterapkan di Indonesia. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN, kita sebagai warga Negara ikut urun rembug terhadap kondisi yang memprihatinkan ini. Apalagi pelaksanaan UN 2013 untuk jenjang SMA/SMK/MA yang baru saja berakhir menjadi sebuah tragedi dalam dunia pendidikan di Indonesia dan ini merupakan sejarah dimana Ujian Nasional tidak dapat dilaksanakan secara serentak.
Berbagai analisa menyebutkan bahwa sistem pelaksanaan menjadi catatan terburuk dalam penyelenggaraan UN selama ini, disamping faktor manusia. Untuk mengatasi permasalahan yang semakin kompleks dari tahun ke tahun dan menyikapi dengan era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, maka sebuah bentuk solusi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini yaitu dengan menyelenggarakan UN dengan menggunakan sistem online.
Sistem online dianggap mampu untuk mengatasi permasalahan dalam proses percetakan maupun distribusi soal, dimana 2 (dua) hal ini menjadi penyebab kacaunya pelaksanaan UN 2013. Sistem online juga meminimalkan proses terjadinya kebocoran soal, karena semua proses pengolahan data dari mulai proses soal sampai pada proses penilaian semua dijalankan lewat jaringan komputer. Dalam penyelenggaraan UN berbasis online ini proses penilaian juga dapat diketahui secara cepat dan tepat, karena kunci jawaban sudah dimasukkan kedalam sistem database sehingga lamanya proses penilaian dengan menggunakan scanner dapat diatasi dengan sistem online ini dan tentunya ini merupakan segi penghematan dalam tahapan koreksi UN.  
Sistem online ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu barat, tengah dan timur, dimana masing-masing zona mempunyai pusat server masing-masing. Pembagian zona ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas data lewat jaringan komputer apabila hanya mengandalkan 1 (satu) server saja sebagai pusat. Berkaca dari pengalaman UKG yang baru-baru ini dilaksanakan oleh Kemendikbud, maka kendala terbesar adalah jaringan atau koneksi server diperbesar kapasitasnya. Untuk merealisasikan proyek ini tentunya Kemendikbud dapat menggandeng PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) sebagai penyedia layanan teknologi informasi dan komunikasi terutama untuk perangkat lunak dan jaringan internetnya.  
Untuk merealisasikan sistem UN berbasis online ini pada awalnya tidak serta merta pemerintah menerapkan pada semua wilayah yang ada di Indonesia, hal ini bertujuan untuk melihat efektifiktas dan efisiensi dari sistem UN online ini. Kalau memang daerah yang dijadikan sampel tersebut berhasil dalam menerapkan sistem UN berbasis online ini, maka sudah sepatutnya pemerintah untuk dapat menerapkan UN online ini ke daerah lain secara bertahap sampai mendapatkan kondisi ideal UN online bisa diterapkan disemua daerah di Indonesia.
Lantas pertanyaan yang muncul adalah berapa besar biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menyediakan perangkat keras dan perangkat lunak komputer. Harus diakui memang biaya yang dibutuhkan cukup besar, tetapi kalau kita melihat anggaran untuk UN sebesar 600 milyar dalam tahun 2013 (www.radarlampung.co.id 11 Desember 2012) atau naik 100 milyar dari tahun kemarin sebesar 500 milyar, rasanya sia-sia kalau anggaran sebesar itu hanya habis dan tidak ada bekasnya sama sekali. Berbeda manakala anggaran sebesar itu digunakan untuk pengadaan dan pengembangan perangkat teknologi informasi komunikasi, dimana Ujian Nasional selesai maka alat beserta propertinya masih utuh dan dapat digunakan lagi untuk pelaksanaan UN tahun berikutnya.
Mudah-mudahan lewat solusi ini dapat menjadi sebuah jawaban atas problematika pelaksanaan UN yang dari tahun ke tahun tidak semakin baik malah semakin memprihatinkan. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN berbasis online, maka sudah sewajarnya kita bersama-sama untuk memikirkan jalan terbaik bagi kemajuan pendidikan di Indonesia, khususnya pelaksanaan Ujian Nasional.

Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

SUPERVISI PENDIDIKAN BERBASIS VIRTUAL

Dalam manajemen pengelolaan sebuah sekolah tentunya dibutuhkan suatu supervisi untuk dapat mengetahui dan mengevaluasi segala kekurangan yang ada di sekolah. Supervisi dapat dilakukan oleh kepala sekolah, penilik ataupun pengawas. Masing-masing memiliki fungsi yang hampir sama, namun jika untuk menilai keseluruhan dari mulai akademis, kelembagaan dan administrasi sekolah maka dibutuhkan pengawas dari lembaga tertinggi yang nantinya akan ditunjuk oleh dinas pendidikan secara langsung untuk melakukan penilaian dan pengawasan, sedangkan orang yang mengawasi ini disebut dengan supervisor. Sebagai kegiatan pengawasan yang mengacu pada unsur pembinaan, supervisi pendidikan yang ada saat ini belum sesuai harapan. Meski terbukti tetap dilakukan hingga saat ini, namun hasil dari supervisi pendidikan yang ada justru tidak mencerminkan gambaran informasi dan data yang sebenarnya. Supervisi telah kehilangan ruhnya sebagai fungsi controlling dan pembinaan terhadap guru di sekolah. Supervisi apa adanya (natural) telah hilang dari budaya pendidikan kita, yang lazim adalah pelaksanaan supervisi di sekolah sudah diketahui jauh-jauh hari sebelumnya, jadi tentunya tidak ada kejutan lagi dan terkesan semua sudah dipersiapkan. Sungguh ironis apabila supervisi lebih dimaknai sebagai kegiatan ritual rutin untuk memenuhi aspek formal dan time schedule yang telah ditetapkan. Selain itu, supervisi masih dipandang sebagai suatu hal yang menakutkan bagi sebagian guru, hal ini tidak terlepas dari metode yang kaku dan harus sesuai dengan pakem yang selama ini masih dipakai dalam pelaksanaan supervisi di sekolah. Andaikan supervisi dikemas dengan sebuah metode yang rileks dan fun tentunya hal ini akan menghasilkan kenyamanan bagi guru sebagai objek yang akan di supervisi. Kenyamanan guru dalam pelaksanaan supervisi sangat dibutuhkan karena sebaik apapun bentuk supervisi yang dilakukan kalau output yang dihasilkan tidak membuat guru menjadi lebih baik, maka dapat dikatakan supervisi tersebut telah gagal. Selama ini supervisi masih menggunakan metode konvensional, dimana supervisor datang ke sekolah dan bertatap muka secara langsung dengan guru yang menjadi binaannya untuk menggali berbagai macam permasalahan yang terkait dengan proses pembelajaran. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana apabila pada saat yang sudah ditentukan ternyata salah satu diantara supervisor ataupun guru tidak bisa menunaikan kewajibannya karena berhalangan hadir di sekolah. Apakah lantas supervisi ditunda dalam waktu yang tidak ditentukan ataukah bahkan bisa jadi batal pelaksanaannya. Lantas sampai kapan kita terus berkutat dengan budaya rutinitas yang tak pasti ini ? Fakta ini semakin menguatkan bahwa keberadaan seorang supervisor ternyata belum mampu menjawab semua permasalahan yang selama ini terjadi pada saat supervisi dilakukan. Supervisi pendidikan berbasis virtual (internet) menjadi sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Kendala minimnya interaksi antara supervisor dengan guru secara langsung, waktu dan tempat pelaksanaan supervisi yang selama ini menjadi hambatan akan mudah teratasi dengan sistem ini. Model supervisi berbasis virtual sangat efektif dan efisien, hal ini dikarenakan seorang supervisor dapat memantau aktivitas guru binaannya tidak harus di sekolah tanpa batasan waktu, tempat dan jarak. Selain itu, model ini dapat lebih memberikan keleluasaan bagi guru untuk menyampaikan aspirasi/masukan terkait dengan kualitas pembelajaran tanpa harus bertatap muka secara langsung dengan seorang supervisor. Dengan supervisi berbasis virtual seorang supervisor dalam satu tempat dapat mengontrol banyak guru yang ada di sekolah berbeda. Hal ini tentunya tidak bisa dilakukan apabila masih memakai cara konvensional, dimana pada satu tempat supervisor hanya mampu melayani guru yang ada di sekolah tersebut. Kolaborasi antara supervisor dengan guru lintas sekolah yang berbeda lewat diskusi online diharapkan mampu menghasilkan banyak kajian dalam peningkatan mutu pembelajaran. Supervisi berbasis virtual ini sangat fleksibel untuk dilaksanakan kapan dan dimana saja tanpa ada batasan waktu sehingga akan memberikan keleluasaan bagi supervisor dan guru untuk melakukan sharing informasi. Lantas, pertanyaan yang muncul adalah berapa biaya pengembangan yang harus dikeluarkan untuk pembuatan model supervisi virtual ini ? Don’t Worry be Happy karena pengembangan model supervisi berbasis virtual ini dapat menggunakan moodle yang sifatnya open source sehingga dapat digunakan secara gratis dan dimodifikasi sesuai kebutuhan pengguna karena source code-nya sudah tersedia. Fasilitas didalam moodle akan memberikan ruang yang tidak terbatas bagi supervisor dan guru untuk berinteraksi secara virtual. Solusi ini tentunya menjadi sebuah jawaban atas problematika dalam pelaksanaan supervisi yang masih berkutat dengan cara konvensional. Tantangan kedepan semakin berat bagi seorang supervisor, dimana kurikulum 2013 siap menanti dan siap untuk diaplikasikan ke sekolah binaannya. Sekarang masihkah kita enggan berbenah untuk memperbaiki kekurangan kita selama ini. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap pelaksanaan supervisi berbasis virtual ini, maka sudah sewajarnya kita turut serta dalam upaya menemukan sebuah metode terbaik dalam rangka perbaikan mutu pendidikan di Indonesia. Pada akhirnya, model supervisi pendidikan berbasis virtual ini diharapkan mampu menjadi pelopor bagi institusi pendidikan untuk menjadikan sebuah lembaga yang ramah terhadap lingkungan. Saatnya pada era teknologi informasi dan komunikasi ini kebijakan-kebijakan nirkertas dapat diimplementasikan kedalam sistem pendidikan kita sehingga kemajuan teknologi akan semakin memudahkan hidup kita, sekaligus menjadikan kita semakin ramah terhadap lingkungan. 

Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

PENGAJARAN BERBASIS ONLINE

Penerapan kurikulum 2013 secara tidak langsung memberikan angin segar bagi terciptanya sistem mengajar berbasis online (internet). Hal ini tercermin dengan terintegrasinya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) kedalam semua mata pelajaran yang ada. Mau tidak mau semua guru dituntut untuk memanfaatkan sarana komputer dan internet sebagai media pendukung dalam proses pembelajaran. Terlepas adanya pro dan kontra terhadap pelaksanaan kurikulum 2013, harus diakui bahwa terobosan untuk mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi kedalam semua mata pelajaran patut mendapat apresiasi, hal ini tentunya akan memberikan kesempatan yang luas bagi guru untuk mengeksplorasi semua fasilitas yang ada dalam komputer dan internet sebagai sarana pembelajaran.
Harapan terciptanya sistem mengajar online ternyata mendapat dukungan penuh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akan menerapkan terobosan baru, yaitu guru yang aktif mengajar secara online atau melalui dunia maya akan dihitung seperti mengajar secara tatap muka di kelas. Terobosan ini merupakan suatu upaya untuk membantu guru agar tetap bisa mengajar dan memenuhi jam wajibnya 24 jam per minggu walaupun tidak bertatap muka di kelas. Adapun penetapan standarisasi mengajar online akan ditetapkan kemudian dan landasan hukum tentang mengajar online sedang disusun oleh Kemendikbud, sebagaimana dikutip dalam situs berita online (www.jpnn.com, Tanggal 15 November 2013).
Bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik, kekurangan jam mengajar ini tentunya akan sangat merugikan. Solusi mengajar secara online tentunya menjadi pilihan untuk mengatasi permasalahan ini. Adapun regulasi penentuan dan aturan jam mengajar online sampai sekarang masih dalam proses finalisasi oleh Kemendikbud. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pustekkom Kemendikbud Ari Santoso yang mengatakan bahwa perhitungan aktivitas mengajar online berlaku untuk guru di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi (dosen). Pernyataan ini tentunya membawa dampak positif bagi terciptanya sinergi model pembelajaran yang mengkolaborasikan peran guru, peserta didik maupun orang tua dalam sebuah sistem berbasis online.
Ada 3 (tiga) keuntungan mendasar apabila rencana yang disampaikan oleh Kepala Pustekkom Kemendikbud dapat diterapkan pada dunia pendidikan kita. Pertama, guru semakin bersemangat memperkuat kemampuannya dalam bidang teknologi informasi, karena jam mengajar online akan dihitung secara reguler. Hal ini semakin meningkatkan daya saing guru dalam membuat inovasi dan konten pembelajaran online untuk meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Kedua, peserta didik dengan menggunakan sistem pembelajaran online akan lebih mudah berinteraksi secara akademik dengan gurunya tanpa adanya batasan ruang dan waktu. Peserta didik juga diberi kebebasan untuk menyampaikan ide kreatif dalam pembelajaran sesuai dengan kemampuan individunya masing-masing. Adanya pergeseran sistem pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher center) menjadi berpusat pada peserta didik (student center). Ketiga, controlling dari orang tua menjadi penyeimbang atas apa yang terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah. Hak akses orang tua dalam sistem pembelajaran online akan mendapatkan porsi yang sama dengan guru maupun peserta didik. Sistem ini mampu mengintegrasikan peran serta orang tua dalam mengikuti perkembangan peserta didik lewat dunia maya. 
Keseriusan dari Kemendikbud ini tentunya patut mendapat apresiasi dari semua pihak, mengingat dengan semakin canggihnya perangkat teknologi informasi juga harus diimbangi dengan pemanfaatan yang sepadan pada proses pembelajaran di sekolah. Teknologi informasi bukan hanya dimaknai sebagai media pembelajaran interaktif saja akan tetapi lebih luas daripada itu, yaitu dimanfaatkan sebagai sistem pembelajaran yang terintegrasi. Jangan sampai dunia pendidikan kita masih berkutat pada model pembelajaran konvensional yang menitikberatkan pada peran guru semata pada proses tatap muka di ruang kelas.
Sistem mengajar online memberikan kemudahan bagi guru dalam memberikan materi dan evaluasi pembelajaran berikut penilaiannya. Tidak adanya batasan ruang dan waktu menjadikan model pembelajaran ini sangat praktis dan dinamis. Sebagai tahapan awal pengembangan, maka sistem mengajar online dapat dijadikan sebagai suplemen penunjang bagi pengajaran secara konvensional. Penyediaaan materi pembelajaran berbasis teknologi informasi yang lebih aktratif dan interaktif memudahkan peserta didik dalam memahami materi sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar.
Platform ini memberikan jalur yang tepat bagi peserta didik untuk berinteraksi secara online dengan teman-teman dan guru mereka dalam suasana akademis. Lebih jauh lagi penggunaan platform ini dapat mengajarkan peserta didik untuk bagaimana berperilaku secara online dan bertanggung jawab dalam mengatur kegiatan belajar mereka dengan sistem yang keamanannya terjamin. Harapan akan terciptanya cyber school (sekolah online), tercermin dari gambaran ruang kelas era online yang akan jauh berbeda dengan ruang kelas sekarang ini. Ruang kelas model seperti ini disebut sebagai “cyber classroom” atau “ruang kelas maya” sebagai tempat peserta didik melakukan aktifitas pembelajaran secara individual maupun kelompok dengan pola belajar yang disebut “interactive learning” atau pembelajaran interaktif melalui komputer dan internet. Dengan kemudahan ini peserta didik akan melakukan kegiatan belajar sesuai dengan kemampuan individualnya tanpa ada batasan ruang dan waktu.
Tantangan terbesar dalam penerapan dan pengembangan sistem mengajar online justru berasal dari internal guru sendiri. Fenomena masih minimnya guru dalam menggunakan komputer dan internet sebagai sarana pembelajaran menjadikan program ini mengalami tantangan di masa depannya. Sebagian guru merasa lebih enjoy dan rileks dalam menggunakan konsep pengajaran konvensional dan merasa bahwa model seperti ini sudah cocok dan pas buat mereka. Kondisi ini tentunya sangat bertolak belakang dengan tujuan utama dalam penerapan kurikulum 2013, dimana semua mata pelajaran harus terintegrasi dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Kendala lain yang dihadapi dalam penerapan sistem mengajar online adalah minimnya motivasi dan kreatifitas guru dalam membuat konten pembelajaran online, infrastruktur dan SDM yang terbatas dalam pengembangan sistem.
Untuk mengatasi permasalahan ini tentunya dibutuhkan kerjasama dan keterlibatan seluruh civitas akademika dan stakeholder. Perlunya dibentuk tim pengembang sistem pengajaran berbasis online dan master teacher yang berkompeten dalam bidang teknologi informasi pada tiap sekolah untuk memudahkan setiap guru dalam menerapkan sistem mengajar online ini. Jangan sampai angin segar kebijakan Kemendikbud terkait dengan penerapan kurikulum 2013 dan regulasi mengajar online menguap begitu saja tanpa adanya hasil yang signifikan dalam peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah. 

Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

Kamis, 15 Januari 2015

PENGUATAN FONDASI PERENCANAAN UN

Ujian Nasional (UN) 2014 tinggal menghitung hari dan pemerintah telah menetapkan Tanggal 14 April 2014 sebagai awal dari pelaksanaan Ujian Nasional untuk jenjang SMA/MA, SMK/MAK, dan SMALB. Pelaksanaan UN setiap tahunnya banyak menyita perhatian semua pihak, bukan hanya pemerintah sebagai penyelenggara, tetapi hajatan skala nasional ini membuat sekolah, guru, orang tua maupun siswa ikut larut dalam euforia UN. Hal ini tidak terlepas dari kontroversi pelaksanaan UN yang sampai sekarang masih menyisakan berbagai macam persoalan. Fenomena ini tentunya menarik untuk dicermati terlebih berita tentang UN selalu menjadi trending topic di media cetak maupun elektronik. Dibumbui dengan pendapat beberapa pakar baik yang pro maupun kontra semakin membuat pelaksanaan UN menjadi sebuah issue yang menarik untuk dibahas.
Problematika yang selalu membayangi pelaksanaan UN dan desakan dari berbagai pihak untuk meniadakan UN, tidak serta merta membuat pemerintah goyah pada pendiriannya, bahkan dengan tegas pemerintah memutuskan UN tetap diperlukan karena dapat memberikan gambaran sesungguhnya kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, peniadaan UN dalam sistem pendidikan dalam negeri bisa mengarah kepada pelemahan sumber daya manusia Indonesia. UN sebagai salah satu upaya meningkatan SDM Indonesia dan berkaitan erat dengan uji kemampuan seseorang yang terstandarisasi secara nasional.
Solusi bijak perbaikan dan penyempurnaan UN akan lebih berarti daripada membicarakan sisi buruknya UN yang tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun juga. Perlunya penguatan pondasi yang kokoh bagi UN akan dapat mengawal standarisasi mutu pendidikan di Indonesia agar tidak semakin tertinggal jauh dengan negara-negara lainnya. Menjadikan UN yang sehat dari segi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi akan lebih berarti untuk mengobati luka yang terjadi pada UN. Perlunya obat yang mujarab dari pemerintah untuk menjadikan UN sebagai alat evaluasi yang tangguh dalam perbaikan dan pemerataan mutu pendidikan Indonesia.
Tragedi kisruhnya pelaksanaan UN tahun 2012/2013 memberikan bukti masih longgarnya aspek perencanaan UN yang dilakukan oleh pemerintah. Kejadian ini harusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk segera bangkit dalam memperbaiki aspek perencanaan UN. Kegagalan mulai dari ketersediaan kertas soal yang tidak tepat waktu, kesalahan distribusi, tertukarnya jenis soal, kualitas kertas yang buruk dan penundaan UN di 11 propinsi menjadikan kredibilitas UN dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Perlunya manajemen perencanaan yang baik agar identifikasi kebutuhan dan perumusan tujuan penyelenggaraan UN dapat dikelola sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.  
Pada aspek pelaksanaan, UN bagi sebagian peserta didik di negeri ini masih dipandang sebagai momok yang menakutkan dan seolah-olah menyiratkan bahwa semua peserta didik harus lulus dan haram hukumnya untuk tidak lulus. Kondisi ini menyebabkan banyak peserta didik mengalami depresi saat ujian, dan banyak yang merasa frustasi karena gagal ujian. Persepsi tentang UN menimbulkan kekhawatiran bagi peserta didik dan menghilangkan konsentrasi belajar yang selama ini sudah tertanam dengan baik. Persiapan yang selama ini dilakukan oleh guru dalam menempa anak didiknya dengan mental dan karakter yang kuat akan menjadi tidak berarti, manakala yang terjadi adalah belum siapnya peserta didik menghadapi sebuah evaluasi dalam bentuk lembaran kertas yang bernama UN. Tekanan psikologis inilah yang rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara UN. Keberhasilan mencapai nilai-nilai UN yang tinggi dianggap keberhasilan yang lebih penting daripada proses menjadikan peserta didik paham apa yang dipelajari.
Penekanan yang berlebihan pada hasil dan bukan pada proses belajar menjadikan UN masih menjadi sebuah bentuk evaluasi yang menakutkan. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang mengajarkan cara pandang seperti ini melalui bentuk evaluasi yang bernama UN. Disatu sisi, UN seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan peserta didik tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka di sekolah. Terlebih lagi, hasil UN berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah di mata masyarakat. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhannya, maka segala cara untuk mendapatkannya pastinya akan ditempuh oleh pihak peserta didik, guru maupun sekolah tanpa memandang cara tersebut sebuah kelaziman maupun tidak.
Tugas dari pemerintah untuk menyiapkan UN sebagai bentuk evaluasi yang menyenangkan, mengedepankan aspek kejujuran dan jauh dari nilai-nilai yang menakutkan sebagai upaya menyiapkan peserta didik sebagai generasi yang siap mental dan bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan UN. Keberadaan UN menjadi shock therapy bagi masyarakat bangsa ini yang terkenal malas dalam membaca. Para orang tua murid yang peduli terhadap peningkatan mutu dan kualitas anak-anaknya tentunya akan mendorong anak-anaknya untuk belajar sejak dini karena mengetahui betapa sulitnya UN yang akan dihadapi oleh sang anak. UN akan membuat motivasi belajar meningkat dan menjadikan peserta didik paham betapa pentingnya belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan sebuah nilai yang maksimal dalam UN.
Apapun yang terjadi sebagaimana amanat yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, maka UN tetap diselenggarakan sebagai salah satu instrumen evaluasi secara nasional, namun kegunaannya tidak dijadikan sebagai indikator mutlak kelulusan, melainkan dijadikan sebagai salah satu indikator kelulusan dengan mengembalikan kepada daerah masing-masing untuk menentukan standar kriteria kelulusannya. Untuk kepentingan memantau mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai pemantau dan pengawas terhadap penyelengaraan UN. Dari hasil UN tersebut, kemudian pemerintah pusat dapat mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan aspek-aspek penting yang akan mendukung agenda peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan. Pendidikan Indonesia yang hebat dapat tercapai, manakala UN dipakai untuk memetakan, menyeleksi, serta pembinaan peserta didik sehingga UN mestinya diarahkan pada substansi tujuan dan bukan semata-mata indikator untuk menilai peserta didik maupun sekolah.

Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

Sabtu, 10 Januari 2015

IDENTITAS SEKOLAH

Nama Sekolah :  SMA Negeri 6 Semarang
NSS :  301036307006
Alamat Sekolah :  Jl. Ronggolawe No. 4
Kecamatan :  Semarang Barat
Kota :  Semarang
Provinsi :  Jawa Tengah
Kode Pos :  50149
Telepon dan Fax :  024 7605578, 7609076, Fax. 024 7605578
Email :  sma6semarang@yahoo.co.id
Website :  http//:www.sman6smg.sch.id
Kepala Sekolah :  Dra. Lukita Yuniati, M.Kom
Status Sekolah :  Negeri
Tahun Berdiri Sekolah :  1979
Luas Tanah Sekolah :  12.460 m2
Luas Bangunan Sekolah :  5.091,55 m2
Status Tanah :  Milik Sendiri
Status Bangunan :  Milik Sendiri
Nomor Sertifikat :  22
Status Akreditasi :  A (Tahun 2017)
NSS :  301036307006
NIPSN :  20328892
NIS :  300060

GURU DAN KARYAWAN SMA NEGERI 6 SEMARANG

NON A M A JABATAN
1Dra. Lukita Yuniati, M.Kom.Kepala Sekolah
2Dra. Hj. Evany AprilawatiGuru
3Dra. Neneng Supriati, MMGuru
4Drs. SubagyoGuru
5Dra. T. Retno Indriyati, MMGuru
6Dra. Hj. Sofiah, M.Pd. Guru
7Dra. Marnala Harianja, MMGuru
8Dra. Agnes Dwi RetnoGuru
9Drs. Suharno, M.PdGuru
10Dra. Hj . Ida RahmawatiGuru
11Tri Handoyo, S.Pd., M.Pd.Guru
12Listya Huriastuti, S.PdGuru
13Drs. H. NurcholisGuru
14Nanik Widayati, S.PdGuru/Waka Kurikulum
15Sri Puspo Handono, S.Pd.Guru
16Achmad Rusdiantoro, S.PdGuru
17Sudiyati, S.Pd, M.Pd.Guru
18Mulyani, S.PdGuru
19Nur Tri Astuti, S.PdGuru
20Siti Saptariningsih, S.PdGuru
21Eko Mujiono, S.Pd.Guru
22Jaenal Abidin, S.PdGuru/Waka Kesiswaan
23M. Rowi, S.Pd.IGuru
24Achmad Tugiran, M.Pd.Guru
25Dra. RusdiyantiGuru
26Anjar Tri Astuti, S.PdGuru
27Karnawan, S.Pd. MM.Guru
28Dewi Nurliyanti, S.PdGuru/Waka Sarpras
29Evi Nurhayati, S.Pd. M.Si.Guru
30Ninik Sariniyati, M.PdGuru
31Achmadi Sofyan, S.PdGuru
32Dwi Budi Rahayu, S.Pd.Guru
33Arief Pramono, S.PdGuru
34Dra. RastutiGuru
35Slamet Riyadi, S.Pd.Guru
36Tri Sumiyarti, S.Pd. M.Pd. Guru
37Ady Priyo Hermawan, S.Pd I.Guru
38Ika Pujiastuti, S.Pd.Guru
39Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd.Guru/Waka Humas
40Agung Setyo Nugroho, S.KomGuru
41Cholis Atun, S.PdGuru
42Siti Maimunah, S.Pd.Guru
43Linda Marta Pratama, S.PdGuru
44Nur Hidayatul Fitri, S.PdGuru
45Sridevi, S.PdGuru
46Drs. SurakhmadGuru
47Dwi Kusdarwati, S.PdGuru
48Margaretha Yuliatri, S.PdGuru
49Fransisca Etty, M, S.ThGuru
50Uly Fithria Ghani, S.PdGTT
51Lutfi Fathul Qorib, S.Pd.GTT
52Aris Wanto, S.Pd.GTT
53Ika Noviana Widiasari, S.Pd.GTT
54Tawam Wahyono, S.Pd IGTT
55Herlina Ulfa Ningrum, S.Pd.GTT
56Sri Yuni Setiyawati, S.Pd. Gr.GTT
57Subagiyo Sri Yahman, S.Pd. M.Pd.GTT
58Erni Widiyastuti, S.Pd. M.Pd.GTT
59Muhamad Nur Halim, S.Pd.GTT
60Muhammad Zuhrufi Maulana, S.Pd.GTT
61Nur Rofiq, S.Pd.I, M.PdGTT
62Gumelar Hari Sasongko, S.Pd, GrGTT
63Ardiatma Rio Respati, S.Pd, GrGTT
64Wildan Adhi Saputro, S.PdGTT
65Yassir Azmy Argiansyah, S.PdGTT
66Wawan Juliyanto, S.PdGTT
67Hayyu Hidayah, S.Pd, GrGTT
68Gondo Asmoro, S.Pd, GrGTT
69F. Bety Kristina RestuiKoord. TU
70M. Zaeni AriesStaff TU
71NgatiminStaff TU
72HariyadiStaff TU
73Astri Kriswulan, A.Md.PTT
74Rina Prastiwi, A.Md.PTT
75Eny PudyastutiPTT
76Satriya WahyuPTT
77AnsoriPTT
78HarsonoPTT
79SukamtoPTT
80ArifinPTT
81SukamtiPTT
82YatminPTT
83Nova Agung WPTT
84SuhadiPTT
85Nuzul JiantoroPTT
86Rizki ApriyantoPTT
87Ardea Yoga Oktarya Gamma, S.KomPTT
88Slamet SutonoPTT

VISI DAN MISI


VISI
Menjadi sekolah unggul dalam prestasi, berakhlak mulia, dan berwawasan lingkungan.
 MISI
1.  Membina mental dan budi pekerti luhur.
2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran secara : aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan.
3. Menumbuhkan sikap komunikatif, koordinatif, dan sportifitas.
4. Melaksanakan pembelajaran lingkungan hidup sehingga mewujudkan sekolah yang sejuk, nyaman, dan sehat untuk belajar.