Kamis, 15 Januari 2015

PENGUATAN FONDASI PERENCANAAN UN

Ujian Nasional (UN) 2014 tinggal menghitung hari dan pemerintah telah menetapkan Tanggal 14 April 2014 sebagai awal dari pelaksanaan Ujian Nasional untuk jenjang SMA/MA, SMK/MAK, dan SMALB. Pelaksanaan UN setiap tahunnya banyak menyita perhatian semua pihak, bukan hanya pemerintah sebagai penyelenggara, tetapi hajatan skala nasional ini membuat sekolah, guru, orang tua maupun siswa ikut larut dalam euforia UN. Hal ini tidak terlepas dari kontroversi pelaksanaan UN yang sampai sekarang masih menyisakan berbagai macam persoalan. Fenomena ini tentunya menarik untuk dicermati terlebih berita tentang UN selalu menjadi trending topic di media cetak maupun elektronik. Dibumbui dengan pendapat beberapa pakar baik yang pro maupun kontra semakin membuat pelaksanaan UN menjadi sebuah issue yang menarik untuk dibahas.
Problematika yang selalu membayangi pelaksanaan UN dan desakan dari berbagai pihak untuk meniadakan UN, tidak serta merta membuat pemerintah goyah pada pendiriannya, bahkan dengan tegas pemerintah memutuskan UN tetap diperlukan karena dapat memberikan gambaran sesungguhnya kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, peniadaan UN dalam sistem pendidikan dalam negeri bisa mengarah kepada pelemahan sumber daya manusia Indonesia. UN sebagai salah satu upaya meningkatan SDM Indonesia dan berkaitan erat dengan uji kemampuan seseorang yang terstandarisasi secara nasional.
Solusi bijak perbaikan dan penyempurnaan UN akan lebih berarti daripada membicarakan sisi buruknya UN yang tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun juga. Perlunya penguatan pondasi yang kokoh bagi UN akan dapat mengawal standarisasi mutu pendidikan di Indonesia agar tidak semakin tertinggal jauh dengan negara-negara lainnya. Menjadikan UN yang sehat dari segi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi akan lebih berarti untuk mengobati luka yang terjadi pada UN. Perlunya obat yang mujarab dari pemerintah untuk menjadikan UN sebagai alat evaluasi yang tangguh dalam perbaikan dan pemerataan mutu pendidikan Indonesia.
Tragedi kisruhnya pelaksanaan UN tahun 2012/2013 memberikan bukti masih longgarnya aspek perencanaan UN yang dilakukan oleh pemerintah. Kejadian ini harusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk segera bangkit dalam memperbaiki aspek perencanaan UN. Kegagalan mulai dari ketersediaan kertas soal yang tidak tepat waktu, kesalahan distribusi, tertukarnya jenis soal, kualitas kertas yang buruk dan penundaan UN di 11 propinsi menjadikan kredibilitas UN dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Perlunya manajemen perencanaan yang baik agar identifikasi kebutuhan dan perumusan tujuan penyelenggaraan UN dapat dikelola sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.  
Pada aspek pelaksanaan, UN bagi sebagian peserta didik di negeri ini masih dipandang sebagai momok yang menakutkan dan seolah-olah menyiratkan bahwa semua peserta didik harus lulus dan haram hukumnya untuk tidak lulus. Kondisi ini menyebabkan banyak peserta didik mengalami depresi saat ujian, dan banyak yang merasa frustasi karena gagal ujian. Persepsi tentang UN menimbulkan kekhawatiran bagi peserta didik dan menghilangkan konsentrasi belajar yang selama ini sudah tertanam dengan baik. Persiapan yang selama ini dilakukan oleh guru dalam menempa anak didiknya dengan mental dan karakter yang kuat akan menjadi tidak berarti, manakala yang terjadi adalah belum siapnya peserta didik menghadapi sebuah evaluasi dalam bentuk lembaran kertas yang bernama UN. Tekanan psikologis inilah yang rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara UN. Keberhasilan mencapai nilai-nilai UN yang tinggi dianggap keberhasilan yang lebih penting daripada proses menjadikan peserta didik paham apa yang dipelajari.
Penekanan yang berlebihan pada hasil dan bukan pada proses belajar menjadikan UN masih menjadi sebuah bentuk evaluasi yang menakutkan. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang mengajarkan cara pandang seperti ini melalui bentuk evaluasi yang bernama UN. Disatu sisi, UN seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan peserta didik tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka di sekolah. Terlebih lagi, hasil UN berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah di mata masyarakat. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhannya, maka segala cara untuk mendapatkannya pastinya akan ditempuh oleh pihak peserta didik, guru maupun sekolah tanpa memandang cara tersebut sebuah kelaziman maupun tidak.
Tugas dari pemerintah untuk menyiapkan UN sebagai bentuk evaluasi yang menyenangkan, mengedepankan aspek kejujuran dan jauh dari nilai-nilai yang menakutkan sebagai upaya menyiapkan peserta didik sebagai generasi yang siap mental dan bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan UN. Keberadaan UN menjadi shock therapy bagi masyarakat bangsa ini yang terkenal malas dalam membaca. Para orang tua murid yang peduli terhadap peningkatan mutu dan kualitas anak-anaknya tentunya akan mendorong anak-anaknya untuk belajar sejak dini karena mengetahui betapa sulitnya UN yang akan dihadapi oleh sang anak. UN akan membuat motivasi belajar meningkat dan menjadikan peserta didik paham betapa pentingnya belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan sebuah nilai yang maksimal dalam UN.
Apapun yang terjadi sebagaimana amanat yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, maka UN tetap diselenggarakan sebagai salah satu instrumen evaluasi secara nasional, namun kegunaannya tidak dijadikan sebagai indikator mutlak kelulusan, melainkan dijadikan sebagai salah satu indikator kelulusan dengan mengembalikan kepada daerah masing-masing untuk menentukan standar kriteria kelulusannya. Untuk kepentingan memantau mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai pemantau dan pengawas terhadap penyelengaraan UN. Dari hasil UN tersebut, kemudian pemerintah pusat dapat mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan aspek-aspek penting yang akan mendukung agenda peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan. Pendidikan Indonesia yang hebat dapat tercapai, manakala UN dipakai untuk memetakan, menyeleksi, serta pembinaan peserta didik sehingga UN mestinya diarahkan pada substansi tujuan dan bukan semata-mata indikator untuk menilai peserta didik maupun sekolah.

Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd

0 komentar:

Posting Komentar