Ujian Nasional (UN) 2014 tinggal menghitung hari dan pemerintah telah menetapkan
Tanggal 14 April 2014 sebagai awal dari pelaksanaan Ujian Nasional untuk
jenjang SMA/MA, SMK/MAK, dan SMALB. Pelaksanaan
UN setiap tahunnya banyak menyita perhatian semua pihak, bukan hanya pemerintah
sebagai penyelenggara, tetapi hajatan skala nasional ini membuat sekolah, guru,
orang tua maupun siswa ikut larut dalam euforia
UN. Hal ini tidak terlepas dari kontroversi pelaksanaan UN yang sampai sekarang
masih menyisakan berbagai macam persoalan. Fenomena ini tentunya menarik untuk
dicermati terlebih berita tentang UN selalu menjadi trending topic di media cetak maupun elektronik. Dibumbui dengan pendapat
beberapa pakar baik yang pro maupun kontra semakin membuat pelaksanaan UN
menjadi sebuah issue yang menarik untuk dibahas.
Problematika
yang selalu membayangi pelaksanaan UN dan desakan dari berbagai pihak untuk
meniadakan UN, tidak serta merta membuat pemerintah goyah pada pendiriannya,
bahkan dengan tegas pemerintah memutuskan UN tetap diperlukan karena dapat memberikan
gambaran sesungguhnya kualitas pendidikan di Indonesia. Selain
itu, peniadaan UN dalam sistem pendidikan dalam negeri bisa mengarah kepada pelemahan
sumber daya manusia Indonesia. UN sebagai salah satu upaya meningkatan SDM
Indonesia dan berkaitan erat dengan uji kemampuan seseorang yang
terstandarisasi secara nasional.
Solusi bijak perbaikan dan penyempurnaan UN akan lebih berarti daripada membicarakan
sisi buruknya UN yang tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun juga. Perlunya
penguatan pondasi yang kokoh bagi UN akan dapat mengawal standarisasi mutu
pendidikan di Indonesia agar tidak semakin tertinggal jauh dengan negara-negara
lainnya. Menjadikan UN yang sehat dari segi perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi akan lebih berarti untuk mengobati luka yang terjadi pada UN. Perlunya
obat yang mujarab dari pemerintah untuk menjadikan UN sebagai alat evaluasi yang
tangguh dalam perbaikan dan pemerataan mutu pendidikan Indonesia.
Tragedi kisruhnya pelaksanaan UN
tahun 2012/2013 memberikan bukti masih longgarnya aspek perencanaan UN yang
dilakukan oleh pemerintah. Kejadian ini harusnya menjadi cambuk bagi pemerintah
untuk segera bangkit dalam memperbaiki aspek perencanaan UN. Kegagalan mulai
dari ketersediaan kertas soal yang tidak tepat waktu, kesalahan distribusi,
tertukarnya jenis soal, kualitas kertas yang buruk dan penundaan UN di 11
propinsi menjadikan kredibilitas UN dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Perlunya
manajemen perencanaan yang baik agar identifikasi kebutuhan dan perumusan
tujuan penyelenggaraan UN dapat dikelola sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan.
Pada aspek pelaksanaan, UN bagi sebagian
peserta didik di negeri ini masih dipandang sebagai momok yang menakutkan dan
seolah-olah menyiratkan bahwa semua peserta didik harus lulus dan haram
hukumnya untuk tidak lulus. Kondisi ini menyebabkan banyak peserta
didik mengalami depresi saat ujian, dan banyak yang merasa frustasi karena
gagal ujian. Persepsi tentang UN menimbulkan kekhawatiran bagi
peserta didik dan menghilangkan konsentrasi belajar yang selama ini sudah
tertanam dengan baik. Persiapan yang selama ini dilakukan oleh guru dalam
menempa anak didiknya dengan mental dan karakter yang kuat akan menjadi tidak
berarti, manakala yang terjadi adalah belum siapnya peserta didik menghadapi sebuah
evaluasi dalam bentuk lembaran kertas yang bernama UN. Tekanan
psikologis inilah yang rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara UN.
Keberhasilan mencapai nilai-nilai UN yang tinggi dianggap keberhasilan yang
lebih penting daripada proses menjadikan peserta didik paham apa yang
dipelajari.
Penekanan yang berlebihan pada hasil dan
bukan pada proses belajar menjadikan UN masih menjadi sebuah bentuk evaluasi
yang menakutkan. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang mengajarkan cara pandang
seperti ini melalui bentuk evaluasi yang bernama UN. Disatu sisi, UN
seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan peserta didik tanpa
mempertimbangkan riwayat belajar mereka di sekolah. Terlebih lagi, hasil UN
berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah di mata masyarakat. Ketika
reputasi dan nama baik menjadi taruhannya, maka segala cara untuk
mendapatkannya pastinya akan ditempuh oleh pihak peserta didik, guru maupun
sekolah tanpa memandang cara tersebut sebuah kelaziman maupun tidak.
Tugas
dari pemerintah untuk menyiapkan UN sebagai bentuk evaluasi yang menyenangkan,
mengedepankan aspek kejujuran dan jauh dari nilai-nilai yang menakutkan sebagai
upaya menyiapkan peserta didik sebagai generasi yang siap mental dan
bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan UN. Keberadaan UN menjadi shock therapy bagi masyarakat bangsa ini yang terkenal malas dalam
membaca. Para orang tua murid yang peduli terhadap peningkatan mutu dan
kualitas anak-anaknya tentunya akan mendorong anak-anaknya untuk belajar sejak
dini karena mengetahui betapa sulitnya UN yang akan dihadapi oleh sang anak. UN
akan membuat motivasi belajar meningkat dan menjadikan peserta didik paham
betapa pentingnya belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan sebuah nilai yang
maksimal dalam UN.
Apapun
yang terjadi sebagaimana amanat yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, maka UN tetap diselenggarakan sebagai salah satu
instrumen evaluasi secara nasional, namun kegunaannya tidak dijadikan sebagai
indikator mutlak kelulusan, melainkan dijadikan sebagai salah satu indikator
kelulusan dengan mengembalikan kepada daerah masing-masing untuk menentukan
standar kriteria kelulusannya. Untuk kepentingan memantau mutu pendidikan
secara nasional, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai pemantau dan
pengawas terhadap penyelengaraan UN. Dari hasil UN tersebut, kemudian
pemerintah pusat dapat mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan
aspek-aspek penting yang akan mendukung agenda peningkatan mutu pendidikan
nasional secara keseluruhan. Pendidikan Indonesia yang hebat dapat tercapai,
manakala UN dipakai untuk memetakan, menyeleksi, serta pembinaan peserta didik
sehingga UN mestinya diarahkan pada substansi tujuan dan bukan
semata-mata indikator untuk menilai peserta didik maupun sekolah.
Oleh : Joko Sulistiyono, S.Kom, M.Pd
0 komentar:
Posting Komentar